PERANG: apa yang terjadi ketika kata ini tiba-tiba muncul kembali dengan makna yang membingungkan, disertai dengan rasa gairah, bukan dengan rasa ngeri akan kekejaman, seperti gegap-gempita yang akan Anda rasakan jika Anda berada di sebuah kafe di sebuah kota di Amerika Serikat, atau di sebuah jalan di Islamabad, dan jangan-jangan juga di sebuah masjid di Kabul?
CNN memasang baner ”America’s New War” sepanjang siarannya. Bendera terpampang. Tak ada lagi beda yang jelas antara berita dan pembangkit semangat. Di belahan dunia lain, para pemuda Taliban akan menyebut-nyebut ”perang sabil”, mengacungkan bedil ke langit meneriakkan seruan anti-Amerika. Kini kita tidak tahu lagi adakah perang sebuah konsep tentang cara menguasai lawan—satu kelanjutan dari politik, kata Karl von Clausewitz yang tersohor—atau sebuah metafora. Atau sebuah pekik. Hari-hari ini pikiran jernih seakan-akan berhenti.
Perang: apa yang terjadi dengan kata ini sekarang? Kita ingat akan pertempuran antara Jerman dan Prancis, atau Amerika dan Jepang, di abad-abad yang lalu, ketika perang berarti sebuah ikhtiar dengan kekerasan untuk menang atas lawan, dengan satu sasaran yang definitif: ada satu atau dua negara lain, dengan batas, dengan pusat, dengan pemerintahan tertentu. Tanda kemenangan diperoleh ketika pemerintah negara lain itu takluk dan perlawanan berhenti.
Tapi bisakah kita berbicara yang sama tentang ”perang melawan kemiskinan”, atau ”perang melawan kemaksiatan”, atau ”perang melawan narkoba”, atau—seperti dinyatakan kini dari Amerika Serikat—”perang melawan terorisme”? Di situ, ”perang” barangkali sebuah metafora: memang ada satu pihak yang ingin mengalahkan ”pihak lain”, tapi apa yang disebut ”pihak lain” itu tak ditunjuk secara spesifik. Yang tergambar adalah upaya yang bersungguh-sungguh, yang mempertaruhkan apa yang penting dalam hidup, untuk berhasil. Tapi kemiskinan, kemaksiatan, kecanduan narkotik, terorisme, tak punya pusat yang bisa menyatakan diri kalah. Tak ada aturan yang menentukan ukuran menang. Tak akan ada otoritas yang menandatangani pernyataan takluk. Ukuran sukses atau menang bisa saja dipatok, misalkan dengan angka statistik, tapi batas dalam statistik itu ditentukan secara sepihak.
Kini menarik bahwa kita dengar kata ”perang” dimaklumkan dalam ketidakjelasan itu. Pesawat tempur sudah diberangkatkan, juga pengebom dan kapal induk, dan pemerintah Amerika Serikat—disertai dengan puji-pujian rakyatnya yang marah, medianya yang mempermainkan emosi, para cendekiawannya yang jadi patriot yang berkibar-kibar, dan para politisi serta selebritinya yang menyanyikan God Bless America tak henti-henti—mungkin malah sudah menerjunkan pasukan khusus di daratan Afghanistan pada detik ini. Lawan memang sudah ditentukan.
Namun adakah Osama bin Ladin dan organisasinya (yang konon bernama al-Qaeda) yang akan dikalahkan, sebagai pusat musuh yang harus dibikin lumpuh? Jika benar, apa ukuran kalah dan menang? Mungkin Osama bin Ladin dapat ditangkap (”hidup atau mati,” seru Presiden George W. Bush, menirukan plakat polisi yang mencari penjahat yang kabur dalam film Western), mungkin pula al-Qaeda bisa dihabisi, tapi tampaknya ”perang” tak akan berakhir di situ. Terorisme bisa dipersonifikasikan pada diri Osama bin Ladin, namun tak terbatas pada orang Saudi ini. Teror bisa datang dari mana saja. Batasan siapa teroris dan siapa perjuang sudah lama punah: sejak perang kemerdekaan di Timur Tengah (dilakukan oleh Menachem Begin ataupun Arafat), di Aljazair, di Irlandia, di Aceh, di Filipina. Bukan kebetulan agaknya: Operation Infinite Justice, betapapun janggalnya nama itu, memang membayangkan jangkauan yang ”tak berhingga”.
Perang: apa yang akan terjadi jika ia dijalankan dengan jangkauan yang ”tak berhingga”—seperti perang melawan ”kebatilan”, ”kekufuran”, atau ”kemaksiatan”? Sebuah kebingungan, mungkin pula sebuah rasa ngeri yang terus-menerus, seperti segala hal yang datang dari yang tak berbatas. Tapi sejak semula memang ini sebuah perang yang aneh. Teror, seperti ketika para pembajak menabrakkan dua pesawat Boeing 767 ke dua menara World Trade Center dan membunuh lebih dari 6.000 manusia dari 80 negeri yang sedang bekerja di sana, adalah sebuah pembunuhan dengan kedahsyatan. Ya, ia sebuah perbuatan kriminal. Polisi New York benar ketika menganggap ratusan ribu ton puing-puing di Financial District itu sebagai ”tempat terjadinya kejahatan”. Tapi Operation Infinite Justice bergerak, dan yang dikerahkan bukan polisi. Tak ada pula surat perintah penangkapan dari hakim ketika pasukan dikirim. Bahkan pemerintah Amerika Serikat menolak untuk menunjukkan bukti keterlibatan Osama ke dunia, sementara armada, senjata, dan tentaranya menjangkau pelbagai laut dan daratan. Teror memang telah menyebabkan batas antara kriminalitas dan agresi tak jelas lagi.
Dan hukum? Saya tak tahu bagaimana hukum akan berlaku di sini, ataukah—bagi sebuah usaha melawan terror—hukum perlu berlaku. Mungkin tidak. Namun saya tak tahu apa yang akan terjadi di sebuah dunia di mana hukum tak berlaku, dan yang menentukan corak hidup kita adalah kekuatan dan kekerasan—dari Osama bin Ladin ataupun dari sebuah negeri seperti Amerika Serikat. Apalagi ketika ”pembalasan” diterjemahkan jadi ”keadilan”, dan ”keadilan” diacu kepada yang ”tak berhingga” atau kepada yang ”Mahasuci”. Di situ, perang akan digebu bukan sebagai kelanjutan dari politik, ya, bukan dari sesuatu yang mengakui keterbatasan hidup di bumi. Perang jadi kelanjutan dari sesuatu yang mutlak. Perang: mungkin teror.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini