Wewenang wali kota jelas lebih rendah daripada gubernur. Namun, yang terjadi di Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, wali kotanya tak mau kalah dengan gubernurnya. Yang terjadi adalah keadaan yang tidak menentu. Gubernur La Ode Kaimoeddin tetap tak mau mengakui Masyhur Masie sebagai Wali Kota Kendari hasil pemilihan yang berlangsung Senin pekan lalu. Bahkan, ia mengultimatum DPRD agar membatalkan hasil pemilihan itu. Sebaliknya, Masie tetap ngotot bahwa dia berhak memimpin Kota Madya Kendari untuk periode kedua. Di lain pihak, DPRD Kendari menganggap pemilihan berlangsung bersih dan jauh dari politik uang.
Alasan Kaimoeddin? Masie tidak layak menjadi wali kota untuk kedua kalinya. Ukurannya jelas. Berdasarkan penilaian Badan Pengawas Daerah, Masie hanya mampu mencapai 30 persen dari target pembangunan yang dibebankan ke pundaknya. Padahal, untuk bisa meneruskan jabatannya, Masie mesti mencapai 80 persen. Kaimoeddin mencontohkan renovasi Pasar Mandonga yang terbakar pada akhir 1999 lalu, yang hingga kini belum juga dilaksanakan. Begitu pula dengan pembangunan jalan. ”Bikin jalan saja tidak mampu kok mau jadi wali kota,” kata Kaimoeddin.
Selain itu, Masie juga terlambat memberikan laporan pertanggungjawaban. Dari paling lambat pada 27 Juli 2001, ternyata laporan tersebut baru dibacakan pada 6 Agustus. Itu sebabnya, Kaimoeddin tak mau memberikan izin kepada Masie untuk maju pada periode kedua ini.
Meski ditolak gubernur, Masie tak ciut nyalinya. Ia bahkan bertindak lebih jauh dengan melobi atasan gubernur di Jakarta. Pada 5 Juli, Menteri Dalam Negeri—ketika itu dijabat Surjadi Soedirdja—telah memberikan izin kepada Masie untuk maju. Empat Fraksi DPRD Kendari, Fraksi Golkar, PDI-P, Reformasi, dan TNI/Polri, pun akhirnya mengesahkan tiga calon.
Selain Masie, dua calon lain adalah Buhari Matta (Kepala Bapedalda Sul-Tra), Umar Saranani (Anggota DPRD Sul-Tra). Pe-luang Masie untuk menjabat wali kota untuk kedua kalinya memang besar, karena Golkar memiliki 14 anggota dari 25 anggota DPRD Kendari. Pemilihan kemudian diadakan pada 17 September lalu. Dan, Seperti diramalkan sebelumnya, Masie menang tipis. Dia mendapatkan 13 suara, sementara lawannya, Buhari Matta dari Fraksi Reformasi, mendapatkan 12 suara.
Perlawanan ini membuat Kaimoeddin berang. Menurut dia, gubernur selaku perpanjangan tangan pemerintah pusat bisa membatalkan hasil pemilihan tersebut. ”Jangan mentang-mentang ada otonomi daerah, terus Kendari mau seenaknya sendiri dan memandang sebelah mata pemerintahan provinsi,” katanya kepada Dedy Kurniawan dari TEMPO. Karena itu, Kaimoeddin tak hendak melantik Masie, bahkan meminta DPRD membatalkan pemilihan tersebut paling lambat 27 September 2001, batas waktu masa jabatan Masie yang pertama. ”Jika Menteri Dalam Negeri se-tuju dengan keputusan DPRD, biarlah dia yang melantik,” kata Kaimoeddin lagi.
Tantangan terhadap Masie tak cuma datang dari gubernur, tapi juga dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari. Dalam keputusan sela atas gugatan Ketua Partai Amanat Nasional Kendari, Nur Alam, kepada DPRD, PTUN meminta agar pencalonan Masie ditunda. Tapi Masie tak terlalu khawatir karena dia mendapat dukungan dari Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung.
Fatwa Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno, saat ini dinantikan untuk menyelesaikan masalah ini. Bagaimanapun, kisruh di Kendari tak bisa dibiarkan berlarut-larut seperti yang terjadi di Sampang, Jawa Timur. Fadillah Budiono hingga kini belum dilantik oleh Gubernur Jawa Timur ataupun Menteri Dalam Negeri, meskipun DPRD Sampang sudah menetapkan dia menjadi pemenang dalam pemilihan bupati.
M.Taufiqurohman, Agus Hidayat, dan kontributor daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini