Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Amir Syamsuddin tampaknya bersilat lidah tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berkali-kali ia mengatakan rancangan yang sedang dibahas di Senayan itu tak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, bila diteliti, rancangan yang disiapkan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP itu jelas mengandung bahaya bagi komisi antikorupsi.
Sikap pemerintah dalam rancangan yang digodok Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu patut dipersoalkan. Apalagi rancangan berdasarkan naskah akademis tahun 2008 ini telah mendapat sentuhan sejumlah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia—mulai Andi Mattalatta, Patrialis Akbar, hingga kini Amir Syamsuddin.
Materi yang disorot terutama soal penyadapan. Dinyatakan dalam rancangan KUHAP bahwa penyadapan dilarang, tapi ada pengecualian untuk penyidikan kejahatan serius, seperti terorisme, korupsi, dan pemerkosaan. Ada tambahan syarat, penyidik harus seizin hakim pemeriksa pendahuluan—fungsi baru yang diperkenalkan dalam rancangan itu.
Tentu saja aktivis antikorupsi bereaksi. Rancangan KUHAP akan mempersulit KPK, yang selama ini mengandalkan penyadapan dalam membongkar korupsi. Komisi antikorupsi akan semakin tak berkutik karena hakim pemeriksa berwenang pula menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Menteri Amir berupaya mengusir kecemasan itu dengan mengingatkan adanya prinsip lex specialis derogat legi generali. Menurut dia, prinsip ini melindungi komisi antikorupsi dari aturan KUHAP lantaran Undang-Undang tentang KPK bersifat khusus. Argumen ini sepintas masuk akal, tapi mengandung jebakan.
Ambil contoh soal penghentian perkara. Undang-Undang KPK menyatakan lembaga ini tak boleh menghentikan penyidikan dan penuntutan. Rancangan KUHAP memang tidak mengusik ketentuan ini. Namun—di sini perangkap itu dipasang—wewenang tersebut menjadi tak berarti karena ada hakim pemeriksa yang berhak menyetop perkara.
Begitu pula soal penyadapan. Undang-Undang KPK hanya menyatakan komisi ini berwenang menyadap, tapi tidak mengatur prosedur penyadapan. Dengan kata lain, tata cara penyadapan tentu akan tunduk pada KUHAP. Apalagi penanganan KPK selama ini juga berlandaskan KUHAP, kecuali masalah yang diatur khusus dalam Undang-Undang KPK. Contohnya soal penyitaan. Undang-Undang KPK menegaskan penyitaan oleh komisi antikorupsi tanpa seizin pengadilan dan tak terikat KUHAP. Tak ada klausul segamblang ini mengenai penyadapan.
Dalam Naskah Akademis Rancangan KUHAP 2008 yang disiapkan tim yang diketuai ahli hukum pidana Andi Hamzah, dinyatakan secara jelas bahwa KPK pun harus minta izin hakim pemeriksa pendahuluan—saat itu masih dinamai hakim komisaris. Artinya, sejak awal, semangat rancangan KUHAP memang membuat standar baku hukum acara.
Standardisasi itu sebetulnya bagus. Begitu pula prosedur penyadapan yang ketat demi melindungi hak asasi manusia. Tapi, di tengah korupsi yang merajalela, seharusnya semua pihak memperkuat KPK. Kalau benar pemerintah tak punya motif buruk, semestinya ada klausul yang jelas dalam rancangan KUHAP, misalnya penyadapan oleh KPK tak perlu seizin pengadilan.
Masalah krusial ini tak mungkin tuntas lewat pembahasan yang terburu-buru dan terkesan tak transparan di pengujung masa kerja Dewan. Sebaiknya pembahasan rancangan KUHAP dihentikan. Pemerintah bisa menarik dan memperbaiki rancangan itu, lalu mengajukannya lagi kepada DPR periode mendatang. Itu lebih patut demi menghindari akibat buruk bagi gerakan pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo