Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Apa Guna Merongrong Risma

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Loyalitas kepada partai berakhir manakala seorang politikus menjadi pejabat publik. Siapa pun yang mengatakannya, pernyataan ini mengandung panduan etika yang secara substansial sangat terang-benderang. Seorang politikus-jadi-pejabat yang tetap melayani partai sesungguhnya telah mengkhianati kewajiban utama jabatannya, yakni mengutamakan kepentingan publik.

Dalam praktek, selalu ada partai yang mencoba menegasikan hal itu, atau ada politikus-jadi-pejabat yang memakai "kacamata kuda" dan memilih tetap menjadi "pesuruh" partai. Cerita ini tak terjadi pada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini—sesuatu yang membuat dia kini terus dirongrong.

Menjabat sejak 28 September 2010, Risma bukanlah politikus; dia tak berafiliasi dengan partai mana pun. Dia seorang birokrat tulen yang kebetulan, berkat pinangan dan dukungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bisa ikut bersaing memperebutkan jabatan wali kota. Kebetulan pula, karena prestasinya yang mencorong sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan serta Kepala Badan Perencanaan Kota, dia memenangi pemungutan suara pada 2 Juni 2010.

PDI Perjuangan justru tak melihat terpilihnya Risma sebagai berkah. Belum lama menjadi wali kota, Risma sudah harus menghadapi upaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mendongkelnya dari jabatan. Dalam kemelut akibat keputusan Risma menaikkan pajak reklame di kawasan tertentu kota inilah terlihat jelas PDI Perjuangan sebenarnya tak gembira benar dengan terpilihnya Risma sebagai wali kota. Fraksi PDI Perjuangan justru termasuk di antara fraksi-fraksi yang bersekutu untuk menyingkirkannya.

Diakui atau tidak, akrobat PDI Perjuangan itu secara tak langsung menyingkap fakta lain: ada jalin-menjalin kepentingan partai untuk tetap berkuasa dengan kepentingan pengusaha yang dekat dengan partai. Bagaimanapun, tak ada yang lebih dirugikan dari pajak reklame yang lebih tinggi ketimbang pengusaha. Jika suara kencang keberatan datang dari "wakil rakyat", tak harus sampai sakit kepala untuk menduga di antara mereka pasti ada apa-apanya.

Betapa sewotnya sebagian anggota legislatif provinsi itu—terutama dari lingkungan PDI Perjuangan—terhadap langkah-langkah Risma sudah terlihat ketika dia menolak pembangunan jalan tol tengah kota. Seperti keputusannya mengenai pajak reklame, Risma beralasan penataan kota—dalam hal ini agar kemacetan tak semakin buruk dan demi pemerataan pembangunan—lebih pantas diprioritaskan.

Sebagai birokrat, sudah semestinya Risma merdeka dalam menjalankan tugas dan memilih yang terbaik bagi kota yang dia pimpin. Dia bisa saja terlihat keras kepala. Tapi prestasinya selama ini, yang diakui luas hingga ke mancanegara—termasuk tak kurang dari sepuluh penghargaan di tingkat Asia-Pasifik—membuktikan pilihan dan pendiriannya tak keliru. Sangat disayangkan, dengan rapor bagus seperti itu, tetap saja Risma hendak dipaksa mengakui ada bagian partai yang harus dia penuhi—barangkali sebagai balas budi.

Pemilihan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota merupakan wujud sikap mau menang sendiri dari PDI Perjuangan. Bisa jadi proses pemilihannya sudah sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diklaim para politikus di DPRD—walau sangat diragukan. Tapi, melihat yang diajukan untuk mendampingi Risma adalah Wisnu—kader PDI Perjuangan yang memainkan peran utama dalam upaya penggulingan Risma—sulit menolak syak wasangka bahwa ada niat tak terpuji di balik pengangkatan itu.

Sempat tersiar kabar Risma memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena suara keberatannya diabaikan. Jika benar dilakukan, langkah ini hanya akan melestarikan kekeliruan mengenai sikap partai terhadap kader atau birokrat yang didukung partai menjadi pejabat publik. Lebih buruk lagi: persekongkolan partai dengan pengusaha bakal kian leluasa mengendalikan arah kebijakan publik dan menguras sumber daya untuk kepentingan yang bertentangan dengan kemaslahatan umum.

Agar terhindar dari keadaan yang bisa merusak itu, Risma mesti bertahan. Dia hanya perlu mengingat bahwa rakyat Surabaya adalah penyokong utamanya, dan dukungan itu kukuh. Kepada merekalah dia wajib loyal. Bukan kepada partai. Bukan pula kepada pengusaha—siapa pun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus