Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEVISI Republik Indonesia ibarat rumah besar yang penghuninya tak punya tuan rumah. Tak jelas siapa ayah siapa ibu. Semua orang di rumah itu bisa berbuat apa saja—termasuk saling sikut.
Dewan pengawas televisi itu tak lagi punya legitimasi, sementara direksi tiada pula. Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat, pada 28 Januari, sudah memecat semua anggota dewan pengawas yang diketuai Elprisdat M. Zen itu. Namun, sehari setelah pemecatan, Elprisdat mengumumkan ahwal penting. Dia menyatakan, "Sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden, kami tetap memiliki kedudukan beserta segenap fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban selaku Dewan Pengawas."
Rupanya, begitu dipecat, kelima anggota dewan pengawas merapat ke Marzuki Alie. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini tak meneruskan surat pemecatan Komisi Informasi ke Presiden. Alasannya, ia tak setuju pemecatan itu pada saat direksi tidak ada. Marzuki menyebutkan, itu sama saja dengan mau membunuh TVRI.
Langkah Komisi Informasi DPR memecat anggota dewan pengawas memang kebablasan. Para politikus Senayan itu melampaui wewenangnya sebagai lembaga legislatif. Pemecatan ini, kalau memang diperlukan, merupakan wewenang eksekutif. Namun langkah Marzuki Alie, yang memasang badan untuk dewan pengawas, juga tak perlu-perlu amat. Apalagi diketahui, Marzuki sudah lama memanfaatkan kedekatan pribadinya dengan dewan pengawas, misalnya membuat iklan ucapan selamat Lebaran dengan biaya di bawah standar.
Kisruh di TVRI memang sudah lama. Semua petinggi di stasiun pelat merah itu bisa saling telikung—dan ini berimbas pada siaran. Tak jelas siapa yang bertanggung jawab pada siaran. Tiba-tiba saja TVRI menyiarkan Konvensi Partai Demokrat secara utuh, tanpa kejelasan apakah itu iklan berbayar atau "titipan partai penguasa". Ada lagi siaran panjang Muktamar Khilafah dari Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi kemasyarakatan Islam garis keras yang dikenal anti-Pancasila. Paket HTI ini sudah dinyatakan tak layak siar, tapi Manajer Current Affairs TVRI diam-diam langsung datang ke petugas master control untuk menayangkan siaran tersebut, melompati semua standar prosedur operasi di sana.
Selain dua skandal siaran itu, ada satu contoh bagaimana petinggi di sana main telikung. Syahdan, tahun lalu, Erwin Aryanantha, (ketika itu) Direktur Pengembangan dan Usaha TVRI, mengantongi persetujuan lisan dengan PT Indosat Tbk untuk mensponsori program mudik TVRI dengan nilai Rp 1,5 miliar dari Rp 3 miliar yang ditawarkan. Namun, ketika Erwin menyodorkan surat penawaran tertulis, pihak Indosat tiba-tiba menolak. Mereka berdalih sudah meneken kontrak dengan orang TVRI lain, yang memberi harga jauh lebih murah: hanya Rp 40 juta. Sebagai Direktur Pengembangan dan Usaha, seharusnya Erwin yang paling berwenang mengajukan penawaran harga kepada sponsor. Dia ditelikung manajer produksi, bawahannya sendiri. TVRI banyak kehilangan pendapatan dari iklan dan sponsor.
Sudah saatnya pemerintah turun tangan. Inilah kesempatan memperbaiki stasiun televisi milik negara agar kembali ke perannya yang sejati, melayani sebesar-besarnya kepentingan publik. Bersihkan TVRI dari unsur partai politik, bersihkan pula dari mafia-mafia kecil yang terkait dengan program siaran. TVRI, dengan jaringan transmisi terbesar di Nusantara, tak bisa dianggap remeh. Di daerah terpencil, hanya siaran TVRI yang diandalkan. Selamatkan televisi pemersatu bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo