Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Perihal Mitos dan Kontroversi M. Yamin

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPAPUN kontroversialnya, Muhammad Yamin adalah bagian dan kekayaan sejarah Indonesia. Ketika ratusan pemuda pada kongres 1926 berdebat perihal bahasa, Yamin—saat itu baru 23 tahun—mengusulkan bahasa Melayu, bukan Jawa atau yang lain, sebagai bahasa persatuan. Dua tahun kemudian, dalam Kongres Pemuda II, dari tangannya lahir teks Sumpah Pemuda.

Gagasannya tentang bentuk negara RI terbit dari romantisismenya pada kerajaan-kerajaan tempo dulu. Dia menggali sejarah Sriwijaya dan Majapahit, lalu menyimpulkan bahwa dua negara itu—ya, dia menyebut "negara", bukan "kerajaan"—menjadi besar dan jaya karena memiliki tokoh pemersatu dan ditopang pemerintahan pusat yang kuat. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Yamin menegaskan bentuk negara yang tepat bagi Indonesia adalah kesatuan. Ia menolak bentuk federasi, seperti diusulkan, antara lain, oleh Mohammad Hatta.

Kekagumannya terhadap masa lampau, sekaligus ketakutannya terhadap disintegrasi bangsa, boleh jadi telah membuatnya berlebihan "menakar" Indonesia. Yamin tidak hanya mengusulkan wilayah Indonesia meliputi Semenanjung Malaya, Timor Portugis, hingga Papua Nugini, tapi juga menciptakan ikon wajah pemersatu dari "negara" Majapahit: Gajah Mada. Dia menuai caci-maki atas "temuan"-nya itu. Toh, hingga kini, tak ada ahli sejarah yang menyatakan—juga mengeluarkan gambar—seperti apa wajah Gajah Mada sebenarnya.

Kontroversi Yamin yang paling ramai dibicarakan adalah perihal bukunya, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang terbit pada 1959. Dalam buku itu, dia mengklaim telah menyampaikan pidato pada 29 Mei 1945 tentang Rancangan UUD yang sistematik dan isinya mirip dengan UUD 1945. Kita tahu Bung Hatta berang atas "bualan" itu.

Patut disayangkan, Orde Baru mengambil "keuntungan" atas klaim sepihak Yamin. Dalam semangat mengerdilkan peran Sukarno, tak lama setelah jatuhnya penguasa Orde Lama itu, Soeharto menyatakan Yaminlah yang berjasa membuat UUD 1945. Klaim Orde Baru itu terekam dalam buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara karangan Nugroho Notosusanto, sejarawan cum anggota militer yang luas dipercaya punya andil dalam "mengaburkan" sejarah Indonesia.

Gagasan Yamin dan Sukarno tentang negara kesatuan, betapapun urgennya dalam konteks masa itu, menghadapi apa yang sebelumnya telah dicemaskan Hatta: pemberontakan daerah. Mendukung Sukarno tentang perlunya pemerintah pusat yang kuat, Yamin menyokong pengerahan pasukan pusat ke Sumatera Barat untuk memadamkan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Permesta di sana. Yamin lalu dibenci justru oleh penduduk negeri tempat ia dilahirkan.

Betapapun, Muhammad Yamin bukanlah semata-mata "si licik"—istilah yang pernah dilontarkan Hatta kepada rekan sedaerahnya itu. Yamin, misalnya, pernah menggagas ide tentang perlunya lembaga hukum untuk mengoreksi produk undang-undang yang bisa saja dilahirkan karena kepentingan politik tertentu. Pascareformasi, amendemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menjalankan tugas tersebut. Harus diakui, pemikiran Yamin melampaui zamannya.

Fanatisme negara persatuan ala Yamin dan Sukarno itu tentulah tak sepenuhnya bisa dijadikan teladan masa kini. Persatuan—kerap "diangkerkan" dengan singkatan NKRI—adalah ikatan yang menyatukan kita sebagai bangsa, tapi mesti dipadukan dengan kesadaran menghargai keunikan dan keistimewaan tiap daerah. Hatta pernah memelesetkan persatuan dengan "persatean"—humor hitam yang menandai kecemasannya terhadap pengendalian di bawah satu tangan ala Sukarno.

Mimpi Yamin tentang kejayaan Indonesia masa lalu juga tak boleh ditelan mentah-mentah. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang kedaulatannya dipagari kedaulatan bangsa lain. Pandangan tentang kebesaran Indonesia perlu dikombinasikan dengan sikap rendah hati dan menghargai negara berbeda. Hari ini Indonesia adalah warga dunia yang kejayaannya bukan ditentukan oleh victory of the past, melainkan oleh komitmen terhadap persaudaraan, pluralisme, dan penghargaan kepada perbedaan.

Yamin memang tokoh kontroversial, tapi justru di situlah uniknya. Ia bagian kecil dari kisah para pendiri Republik. Bersama Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Natsir, D.N. Aidit—untuk menyebut beberapa—Yamin membuktikan bahwa sejarah Indonesia bukanlah sesuatu yang lempang. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang tiap sentimeter sejarahnya dibangun di atas pertentangan dan pergulatan. Ada idealisme di situ. Mungkin juga: pragmatisme. Karena itu, perlu lebih rileks memandang masa lalu. Seperti masa kini, ia juga banyak cacatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus