Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, S.H., menegaskan akan memasukkan pasal santet dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang kini sedang dipersiapkan. Menurut Menteri Kehakiman, penerapan pasal santet itu tujuannya untuk melindungi masyarakat dari praktek ''main hakim sendiri''. Santet memang merupakan salah satu fenomena yang sudah lama hidup di masyarakat kita. Ia merupakan sejenis ilmu hitam black magic) yang dikenal sebagai jengges, tenung, ilu-ilu, banaspati, dan sebagainya. Mereka yang terkena santet, perutnya menggembung dan sesekali mengeluarkan jarum, ijuk, silet, atau benda asing lainnya. Kebanyakan dari korban itu akan segera menghadapi sakratulmaut. Itu sebabnya tersangka pelaku (dukun santet) sering menjadi korban ''main hakim sendiri'' oleh warga masyarakat setempat. Padahal, hubungan antara tersangka pelaku (dukun santet) dan korban tak mudah dilihat dengan mata telanjang dan sulit dibuktikan hubungan kausalnya. Bagaimanapun alasannya, dampak dari praktek santet perlu diwaspadai. Dan si pelaku perlu mendapat hukuman setimpal atas tindak kejahatannya. Namun, penerapan pasal santet dalam RUU KUHP itu hendaknya diatur secara cermat dan terinci. Misalnya: ada definisi santet, jenis, alat, serta akibatnya. Memang ada anggapan bahwa masuknya santet ke KUHP sama artinya melegalisasi suatu kepercayaan yang dilarang agama. Ada pula yang menilai hal itu terlalu mengada-ada dan cenderung ''memperkosa'' hukum yang seharusnya mendasarkan pada hal-hal kasatmata (riil). Nah, sebelum pasal santet itu masuk KUHP, perlu lebih dulu delik baru ini digodok oleh lembaga DPR secara komprehensif dan empiritis, baik alasan dan latar belakangnya, maupun dampak negatif terhadap sosial budaya nasional kita. SETIABUDI Jalan Panjalu 2 Kediri 64121 Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini