Sebetulnya saya mengharapkan teman saya dari bagian kedokteran kehakiman untuk memberikan argumen ilmah tentang santet masuk KUHP. Tapi karena argumen-argumen ilmiah itu tidak muncul, saya mencoba memberikan argumen dan keyakinan saya sebagai dokter kebidanan. Pada tahun 1973, saya bertugas (wajib kerja sarjana) di Kalimantan Tengah, persisnya di pelosok Puruk Cahu. Di situ berdiam suku Dayak yang masih percaya pada ''kuyang'' atau hal- hal yang gaib lainnya. Orang tertentu, menurut kepercayaan mereka, bisa menjadi ''kuyang'' bila mengisap darah pada wanita hamil yang mengalami pendarahan. Wanita hamil yang kejang- kejang, kata mereka, itu disebabkan oleh kekuatan ''teluh''. Saya, sebagai seorang dokter, berusaha menjelaskan kepada mereka, itu adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Kepada seorang dukun yang terkena batuk darah, pernah saya jelaskan bahwa penyakitnya itu bukanlah diteluh oleh dukun yang lain, tapi itu penyakit TBC seperti yang banyak diderita oleh rakyat di daerah itu. Setelah dukun itu sembuh barulah mereka percaya. Sejak tahun 1984 saya bertugas di RSU Kabupaten Lebak sebagai dokter kebidanan. Hal yang sama juga saya temukan di sini. Mereka percaya pada ''kuntilanak'', santet, dan lain-lain. Keyakinan saya sebagai dokter bertambah setelah penyakit pendarahan pada wanita hamil itu bisa diatasi sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran. Adalah suatu kemunduran, menurut saya, jika santet masuk KUHP. Sebab, keyakinan seperti itu ada pada orang-orang yang berpengetahuan rendah. DR. YO WINARNO Obgyn RSU Kabupaten Lebak Rangkasbitung Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini