Tragedi Haur Koneng patut kita sesalkan (TEMPO, 3 Agustus, Nasional). Karena tak sependapat, akhirnya lima nyawa melayang. Aparat penegak hukum, di satu pihak, keberadaannya merasa ditantang. Sementara itu, di pihak lain, kelompok yang ingin mandiri merasa terusik oleh undang-undang sebagai warga negara. Siapa yang benar? Untuk itu perlu penyelidikan lebih lanjut. Perlu diketahui bahwa aliran seperti kelompok Haur Koneng itu tak sendiri di negara kita ini. Pada era Pembanguan Jangka Panjang Tahap II ini, rasanya, tidak tepat lagi adanya tindakan memvonis langsung terhadap setiap aliran yang pengikutnya ingin mandiri, sebagai kelompok sesat. Andai kata keberadaan mereka dimonitor sebelumnya, dalam hal ini oleh ulama dan aparat kelurahan, tentu kejadian semacam ini tak akan terjadi. Apalagi, seperti kita ketahui, kehadiran mereka pada hakikatnya tak meresahkan penduduk lainnya. Dan mereka itu, umumnya, berasal dari masyarakat kelas bawah, yakni petani miskin dengan tingkat pemahaman yang masih awam. Terlepas dari tata cara mereka melaksanakan ajaran tarekatnya, sebenarnya tak ada yang perlu dipersoalkan asal saja mereka itu tetap menyebut asma Allah. Tapi yang terjadi, sepertinya, jauh panggang dari api. Entah bagaimana cara petugas sensus kelurahan menjalankan tugasnya terhadap mereka. Simpatikkah? Untuk itu perlu diperiksa kembali ''informasi'' dari para petugas sensus tentang para pengikut aliran Haur Koneng. T. GAPULANTANA Tanjungpriok Jakarta Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini