Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISA jadi Taufiq Kiemas terkena serangan demam panggung. Mungkin juga konsentrasinya pecah dalam pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di gedung MPR/DPR Senayan, Selasa pekan lalu. Kita tahu, Kiemas merupakan satu-satunya wakil PDI Perjuangan yang masuk jajaran pejabat negara. Sedangkan istrinya, Megawati Soekarnoputri, yang menjadi ketua umum partai berlambang banteng itu, memilih berada di luar pemerintahan. Walhasil, berulang kali Kiemas keseleo lidah dalam acara yang dihadiri sejumlah pimpinan negara sahabat itu.
Kiemas lupa menyebut kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan presiden B.J. Habibie dalam acara itu. Sudah begitu, ia yang kini 66 tahun itu keliru menyebut nama B.J. Habibie, yang disebutnya ”Profesor Jusuf Baharuddin Habibie”. Malah dua kali ia terpeleset mengucapkan nama dan gelar Yudhoyono. Sekali dia menyebut ”Haji Susilo Doktor Bambang Yudhoyono” dan sekali lagi ”Haji Doktor Susilo Yudhoyono”. Gelar ”doktor” Yudhoyono juga sempat disebutnya ”dokter”. Syukurlah dia tak salah menyebut urutan tamu negara yang hadir.
Bisa dipahami bila reaksi publik riuh-rendah. Tanggapan bahkan lebih ramai ketimbang saat Ketua DPR Agung Laksono lupa mengajak hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya, dalam pembukaan masa sidang DPR yang dihadiri Presiden Yudhoyono, Agustus lalu. Agung Laksono dianggap abai terhadap protokoler.
Aturan protokoler kadang menjengkelkan karena mengatur hal sepele dan kecil, tapi tetap harus dikerjakan. Tinggi meja, posisi kursi, posisi mike, besarnya huruf naskah, harus disesuaikan dengan kebutuhan sang tokoh. Patut diragukan semua hal ini diperhatikan karena ukuran tubuh dan kondisi kesehatan Kiemas, misalnya, berbeda dengan Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR sebelumnya.
Sidang Paripurna MPR/DPR merupakan acara kene-garaan yang sakral. Seorang pemimpin bangsa yang memenangi dukungan terbanyak rakyat dilantik hari itu. Maka semua aturan protokoler harus dikerjakan sebaik mungkin agar acara berlangsung khidmat. Sialnya, itu tak terjadi pada Selasa pekan lalu di Senayan. Berbagai kesalahan di gedung MPR/DPR membuat sebuah upacara yang khusyuk dan tertib tak dapat dihadirkan. Apa boleh buat, kita akan dinilai sebagai bangsa yang tak mampu memberikan penghormatan tertinggi kepada pemimpin kita sendiri.
Kiemas menyatakan kesalahan yang dia buat adalah manusiawi dan dia sudah minta maaf. Tapi boleh juga disarankan bahwa Ketua MPR mendatang hendaknya dipilih dari partai politik dengan dukungan luas rakyat, cakap memimpin rapat, terlatih bersidang di DPR atau Dewan Perwakilan Daerah
Kiemas sudah menjadi anggota DPR sejak 1999. Ia seharusnya tak asing dengan tata cara sidang di parlemen. Tapi catatan absensinya tergolong tinggi, yang artinya keterlibatannya dalam rapat di lembaga legislatif juga sangat kurang. Berkat negosiasi politik dengan Yudhoyono, untuk membangun koalisi pendukung pemerintah, Kiemas diplot sebagai Ketua MPR. Walaupun akhirnya negosiasi tak jalan lantaran Megawati menolak masuk barisan pemerintah, Kiemas sudah telanjur duduk di kursi Ketua MPR.
Kiemas ”beruntung” karena sidang MPR paling sedikit berlangsung sekali setahun. Tapi bukan berarti kesalahan ucap bisa dibiarkan begitu saja berlalu. Ia perlu memperbaiki diri. Bila sulit mengucapkan kata-kata tertentu, ia bisa minta bantuan ahli speech therapy. Ia perlu menjadi orang pertama yang menjaga wibawa MPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo