Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pidana LGBT dan Hak Asasi

Dewan Perwakilan Rakyat mendorong adanya ketentuan pemidanaan terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

30 Januari 2018 | 06.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polres Metro Jakarta Utara menangkap 141 pria yang diduga anggota kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Atlantis Gym and Spa, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Mei 2017. Tempat tersebut sempat dicurigai menjadi sarang pesta seks sejenis bagi kaum pria. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Perwakilan Rakyat mendorong adanya ketentuan pemidanaan terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Rencana itu memposisikan kelompok LGBT sebagai pelaku kriminal, sehingga tidak sesuai dengan norma dan nilai hak asasi manusia (HAM).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut norma dan prinsip HAM yang dimuat dalam dokumen Prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles), LGBT adalah kelompok rentan yang wajib dilindungi oleh negara.Prinsip Yogyakarta adalah panduan global bagi upaya penghapusan stigma dan diskriminasi bagi kelompok LGBT. Dokumen itu dicetuskan di Yogyakarta pada 2007 oleh 29 ahli hukum internasional dan HAM dari 25 negara. Salah satunya adalah Marry Robinson, bekas Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam perspektif HAM, LGBT juga disebut sebagai SOGIE (sexual orientation gender identity and expression atau orientasi seksual dan identitas gender). Menurut Prinsip Yogyakarta, orientasi seksual dijelaskan sebagai kapasitas masing-masing orang untuk memunculkan ketertarikan emosional, rasa sayang dan ketertarikan seksual, serta hubungan intim dan seksual dengan individu dari gender yang berbeda atau sama atau lebih dari satu gender.

Adapun identitas gender adalah perasaan dan pengalaman internal setiap individu terhadap gender yang mungkin saja tidak sesuai dengan jenis kelaminnya pada saat dia dilahirkan. Hal itu termasuk perasaannya pada bagian tubuhnya, yang mungkin mencakup, jika dapat dipilih secara bebas, pengubahan bentuk tubuhnya dengan cara medis, pembedahan atau cara lainnya, dan cara lain dalam mengekspresikan gender, termasuk cara berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku.

Kelompok LGBT melakukan aktivitas seksual konsensual, yakni tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa atas pilihan pribadi, tanpa paksaan dan dengan kesadaran penuh. Orientasi seksual dan identitas gender merupakan bagian integral dari martabat dan kemanusiaan, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar melakukan diskriminasi, kekerasan, apalagi pemidanaan.

Prinsip Yogyakarta disusun dari berbagai standar HAM dan implementasinya terhadap isu-isu orientasi seksual dan identitas gender dengan berbasis pada nilai universal bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak. Dengan demikian, setiap orang berhak menikmati HAM tanpa adanya perbedaan atas dasar apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, dan agama. Sebagai salah satu kelompok rentan, karena sebagian besar dari mereka belum dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara, dan hidup dalam ketakutan dan diskriminasi secara masif, LGBT wajib dilindungi oleh negara sebagaimana layaknya manusia lain.

Pemahaman yang keliru atas LGBT, baik di kalangan masyarakat, pemuka agama, maupun pemerintah, mengakibatkan kaum tersebut terus mengalami tindak diskriminasi dan pelanggaran HAM. LGBT dianggap sebagai aktivitas amoral, menyimpang, dan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Menurut Komisi HAM PBB, kekhawatiran yang didasari homofobia ini seringkali mendatangkan kekerasan, tindakan sewenang-wenang, dan pengucilan terhadap kelompok tersebut.

Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum mengambil langkah-langkah efektif untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip dalam Prinsip Yogyakarta. Padahal, kekerasan terhadap kelompok LGBT sudah banyak terjadi, seperti pelecehan, pengucilan, penganiayaan, penahanan sewenang-wenang, perundungan, khususnya di sekolah, dan yang kini mengancam adalah pemidanaan.

UUD 1945 menggariskan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. Deklarasi Universal HAM juga menegaskan bahwa semua manusia terlahir dengan martabat dan hak yang setara. Maka, setiap orang dari semua orientasi seksual dan identitas gender berhak menikmati HAM sepenuhnya. Untuk itu, negara wajib mengubah segala perundang-undangan, termasuk yang berkaitan dengan pidana, untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan perlindungan HAM secara universal.

Namun, yang saat ini terjadi, khususnya di DPR, adalah tindakan yang sebaliknya. Alih-alih melindungi LGBT dari tindak kekerasan dan diskriminasi, DPR justru berupaya mempidanakan mereka. Legislator seyogianya melihat dan memahami LGBT secara utuh sesuai dengan Prinsip Yogyakarta dalam membahas Rancangan KUHP.

Mimin Dwi Hartono

Mimin Dwi Hartono

Analis Kebijakan Madya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus