Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKANNYA menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, makin ke sini polisi justru kian menjadi pelayan kekuasaan. Saat Presiden Joko Widodo dikritik para guru besar dan dosen dari berbagai kampus akibat keberpihakannya dalam pemilihan umum, Korps Bhayangkara melancarkan operasi untuk meredam kritik tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi mendatangi berbagai kampus untuk menggalang dukungan buat Jokowi. Modus dan narasinya sama: mendorong petinggi kampus membuat testimoni yang memuji keberhasilan dan jasa-jasa Jokowi. Polisi juga meminta mereka menyatakan bahwa Pemilu 2024 menjadi ajang untuk mencari pemimpin terbaik dan tak boleh ada yang memaksakan kehendak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Semarang, operasi tersebut dilakukan dengan memperdaya akademikus. Kepala Kepolisian Sektor Tembalang Komisaris Wahdah Maulidiawati mewawancarai Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang Hardi Winoto. Video Hardi yang memuji keberhasilan Jokowi menangani pandemi Covid-19 lantas beredar di media sosial. Hardi tak menduga rekaman itu digunakan untuk menandingi kritik civitas academica.
Kelakuan ngawur polisi itu justru membuktikan bahwa kritik guru besar benar adanya. Para guru besar, dosen, dan mahasiswa mempersoalkan polah Jokowi yang membahayakan demokrasi serta kecenderungan aparatur negara yang menghamba kepada penguasa. Bukannya menjaga netralitas dan menjamin kemerdekaan berpendapat, polisi malah menggunakan berbagai cara untuk membalas seruan moral dari kampus tersebut.
Penyalahgunaan kekuatan polisi ditengarai telah dilakukan sejak pemilihan presiden bergulir. Menjelang akhir tahun lalu, setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto, polisi menekan kepala desa agar tak mendukung calon lainnya. Para kepala desa itu diancam dengan kasus korupsi penggunaan dana desa.
Dalam hal meredam gerakan kampus, manuver polisi pun tampak begitu terstruktur, sistematis, dan masif. Tak mungkin perwira menengah selevel kepala kepolisian sektor bergerak bersamaan mendekati petinggi kampus tanpa ada komando dari atasannya. Dalam logika penghamba kekuasaan, gerakan kampus yang kian masif harus digembosi supaya tak membahayakan Jokowi dan calon yang didukungnya dalam pemilihan presiden.
Terbukti gagal menjaga netralitas polisi, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus mundur dari jabatannya. Jika terus menjabat, Listyo bisa membawa Polri kian menjadi alat politik. Institusi Polri pun akan makin rusak karena mentalitas “asal bapak senang” menular dan tumbuh subur di antara para perwira demi mendapat posisi.
Namun menunggu Listyo mundur secara sukarela jelas naif. Bagaimanapun, bekas Kepala Kepolisian Resor Kota Solo itu berutang budi kepada Jokowi yang telah melesatkan kariernya hingga menjadi jenderal. Lagi pula, cerita soal Listyo cenderung berpihak kepada Prabowo-Gibran juga sayup-sayup terdengar. Karena itu, berharap polisi netral adalah angan-angan menerawang langit.
Pokok masalah dari ketidaknetralan polisi saat ini adalah Jokowi sendiri. Hasrat Jokowi membangun dinasti politiknya telah menyebabkan kerusakan demokrasi dan penyalahgunaan institusi negara. Demi memperpanjang kekuasaan lewat anaknya, Jokowi sampai mengerahkan alat negara dan melawan akal sehat.