Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA hal penting yang terlewatkan dalam keramaian menjelang Pemilihan Umum 2019. Ketika seluruh konsentrasi publik terserap pada persaingan dua calon presiden, para petinggi partai politik tanpa malu berlomba-lomba memboyong anak dan istrinya menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilu legislatif yang digelar bersamaan dengan pemilihan presiden nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit untuk abai bahwa langkah para petinggi partai itu berpeluang membentuk dinasti politik dalam lembaga legislatif. Politik kekerabatan akan melahirkan sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit system. Padahal pemilu semestinya menjadi ajang kompetisi bagi para kader partai terbaik untuk membangun kepercayaan konstituen agar bisa terpilih menjadi wakil mereka di DPR. Penempatan anggota keluarga sekaligus mencerminkan tersumbatnya kaderisasi organisasi di partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sembilan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para ketua umum partai politik pada pemilu kali ini. Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo mengajak istri dan tiga anaknya. Selain itu, terdapat Puan Maharani, Edhie Baskoro Yudhoyono, Prananda Surya Paloh, dan Ravindra Airlangga, putra Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Ada lagi Yuri Kemal Fadlullah, anak Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, yang akan bertarung di Jakarta.
Para calon legislator harus memiliki pengetahuan politik yang baik. Merekalah yang akan menjalankan fungsi legislasi di DPR selama lima tahun ke depan. Sudah seharusnya yang terpilih adalah mereka yang merintis karier politik dan bukan semata-mata bermodal "jatah" ketua umum partai demi melanggengkan dinasti. Meski tak melanggar aturan, main jatah di daerah pemilihan akan membuat kader yang memiliki kompetensi lebih baik tersingkir.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, partai politik harus menjalankan fungsi kaderisasi. Kader yang meniti karier lebih lama di partai politik cenderung memiliki pengetahuan politik dan tata negara yang lebih memadai ketimbang kemampuan instan anak dan istri para petinggi partai. Semua kader harus mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing menuju Senayan.
Ketika daftar pemilih tetap sudah diketok Komisi Pemilihan Umum, partai politik peserta pemilu mesti didorong agar membuka jati diri dan rekam jejak para calon legislator yang mereka usung. Upaya ini menjadi sebuah keharusan, karena perilaku menutup diri ini menggejala di banyak partai. Survei Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) pada Oktober tahun lalu menyebutkan hampir separuh calon legislator enggan mempublikasikan riwayat hidup secara rinci di laman KPU. Mereka berasal dari Partai Hanura, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Sikap serupa juga ditemukan di Partai Garuda, Partai Berkarya, dan Perindo.
Di luar keterbukaan informasi, publik yang memiliki hak pilih harus juga bersikap terhadap para calon yang berpotensi melahirkan dinasti politik. Jangan pilih mereka yang maju menjadi wakil rakyat tanpa catatan prestasi dan hanya bermodal politik kekerabatan.