Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siasat Lolos Setya Novanto

Mata publik kini tertuju pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani gugatan praperadilan Setya Novanto.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata publik kini tertuju pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani gugatan praperadilan Setya Novanto. Di sinilah tersangka korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) itu berupaya memanfaatkan titik lemah proses peradilan kita. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, yang bertanggung jawab mengawasi perilaku hakim, wajib mewaspadai persidangan itu.

Sidang praperadilan Setya- digelar lagi pada pekan ini setelah sidang perdana dibuka pekan lalu amat krusial. Nasib Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini bakal ditentukan hakim tunggal Cepi Iskandar. Dialah satu-satunya orang yang menguji antara lain soal penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus Setya. Tapi inti gugatan Setya tentu saja penetapannya sebagai tersangka.

Setya dituduh terlibat dalam korupsi proyek e-KTP berbiaya triliunan rupiah. Sebagai anggota DPR, ia diduga menguntungkan diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan negara Rp 2,3 triliun. Tersangka disebut ikut mengarahkan penentuan pemenang tender. Dalam dakwaan pelaku lain skandal ini, Setya disebut mendapat jatah 11 persen dari nilai proyek atau sekitar Rp 574 miliar.

Hasil kerja penyidik KPK selama berbulan-bulan akan mubazir jika gugatan Setya dikabulkan hakim. Soalnya, putusan itu akan berkekuatan hukum tetap. KPK tidak bisa meminta banding dan kasasi serta sulit pula mengajukan permohonan peninjauan kembali. Mengingat pentingnya proses hukum itu, sidang gugatan praperadilan Setya amat rentan dipengaruhi tekanan pihak luar, terutama dari kubu tersangka.

Setya, yang hingga kini belum memenuhi panggilan KPK dengan alasan sakit, masih punya pengaruh secara politik. Ia belum mundur dari jabatan Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar kendati telah menjadi tersangka sejak Juli lalu. Sikap yang kurang etis dan dibiarkan banyak kalangan ini menunjukkan betapa rendah tata krama politik kita. Kubu Setya, yang memiliki jaringan luas, juga berpotensi menyiasati aturan hukum. Fungsi hukum bisa semakin tersingkir, tersodok oleh kekuatan politik dan mungkin pula uang.

Dari rekam jejaknya, Setya juga pandai berkelit. Ia pernah mundur dari jabatan Ketua DPR pada 2015 setelah perannya terungkap dalam pengaturan saham PT Freeport Indonesia. Skandal yang populer dengan sebutan "Papa Minta Saham" ini terungkap lewat perbincangan dalam lobi-lobi Setya yang direkam secara diam-diam oleh Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Kasus itu sulit diproses secara hukum setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Setya. Mahkamah menyatakan penyadapan yang tidak dilakukan penegak hukum bukanlah alat bukti yang sah. Setya pun berhasil mendapatkan jabatan Ketua DPR lagi. Sebelumnya, ia juga lolos dari sederet kasus lain, dari kasus cessie Bank Bali pada 1999 hingga perkara korupsi proyek Pekan Olahraga Nasional 2012 di Riau.

Pengawasan terhadap kasus Setya amat penting lantaran praperadilan telah terbukti menjadi titik lemah proses hukum. Sudah berkali-kali tersangka korupsi yang dijerat KPK lolos lewat jalur ini. Dua tahun lalu, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan lepas dari jeratan kasus korupsi setelah menggugat praperadilan dan dikabulkan hakim Sarpin Rizaldi. Bekas Direktur Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo melewati jalan yang sama untuk lolos dari kasus korupsi. Dan terakhir, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman lepas dari jerat KPK setelah menang dalam praperadilan pada Maret lalu.

Praperadilan mulai menjadi titik rawan setelah Mahkamah Konstitusi memperluas obyek gugatan pada 2015. Penetapan tersangka, yang sebelumnya tidak masuk obyek gugatan, sejak itu menjadi sah sebagai materi praperadilan. Peluang mengoreksi putusan praperadilan pun amat tipis. KPK pernah menempuh jalur peninjauan kembali dalam kasus Hadi Poernomo, tapi ditolak. Jaksa KPK dinilai bukan pihak yang berhak mengajukan upaya hukum itu.

Idealnya, tatanan hukum yang lemah itu dibenahi. Tak selayaknya penetapan tersangka bisa dibatalkan begitu mudah lewat praperadilan dan tak ada mekanisme untuk mengujinya lagi. Hanya di tangan hakim yang benar-benar bersih dan bijak, mekanisme hukum yang lemah ini tidak menjadi "bencana" bagi masyarakat.

Karena itu, semua pihak- terutama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial- harus mengawasi proses praperadilan Setya Novanto. Jangan sampai hasil kerja KPK sia-sia dan perang melawan korupsi terhambat hanya gara-gara ketukan palu hakim praperadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus