Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan Presiden Joko Widodo untuk merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat pekan lalu, bukanlah jaminan bahwa lembaga ini masih aman. Komisi sudah lama dirontokkan otoritasnya, dari kriminalisasi para pemimpinnya hingga berkali-kali upaya Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang KPK. Maka pernyataan, apalagi berasal dari Teten Masduki, Staf Komunikasi Presiden, bahwa Presiden Jokowi menolak revisi Undang-Undang KPK bukanlah jaminan kuat. Khalayak belum yakin bahwa Presiden memang serius mendukung komisi antirasuah.
Ini bukan pertama kali parlemen mencoba merombak isi Undang-Undang KPK. Undang-undang ini dianggap terlalu memayungi lembaga yang sudah menangkap berbagai tokoh itu-dari anggota Dewan, pemimpin partai, hingga sejumlah menteri. Sejak 2007, 2012, lalu awal tahun ini, DPR dan pemerintah seolah-olah kompak berupaya mengotak-atik berbagai pasal Undang-Undang KPK. Adapun revisi yang dibicarakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly bersama Badan Legislasi DPR adalah penyadapan, penuntutan, pembentukan dewan pengawas, penunjukan pelaksana tugas jika pemimpin berhalangan, dan penguatan prinsip kolektif kolegial.
Sulit untuk tidak menuduh bahwa upaya Menteri Yasonna dan DPR itu adalah upaya melemahkan, bahkan mungkin menghapus, wewenang KPK. Pertama, wewenang penyadapan komisi antikorupsi hendak dibonsai. Penyadapan kelak hanya bisa dilakukan setelah proses penyidikan berlangsung atau ketika Komisi sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka. Padahal penyadapan merupakan jantung kewenangan KPK yang membuat operasinya berhasil dalam penuntutan. Sudah terbukti, rekaman-rekaman penyadapan itulah yang sangat ampuh untuk menjerat para koruptor.
Poin lain yang membahayakan adalah pemangkasan kewenangan KPK dalam hal penuntutan. Selama ini Komisi bisa melakukan penuntutan secara mandiri, sedangkan revisi itu mengembalikan kewenangan penuntutan kepada kejaksaan. Ini berbahaya karena justru dengan menyatukan penyidikan dan penuntutan, KPK menjadi kuat. Selain mempercepat proses hukum, penyatuan kedua proses itu bakal memperkuat alat bukti yang akan dibawa ke persidangan. Poin ketiga yang hendak direvisi DPR adalah KPK membutuhkan dewan pengawas yang dipilih DPR.
Upaya revisi itu pun tampak janggal. Ketika Menteri Yasonna memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2015, Presiden Jokowi disebut tidak tahu-menahu. Padahal, dalam proses yang wajar, sebuah undang-undang yang akan direvisi DPR dan pemerintah harus mendapatkan amanat Presiden. Jika Menteri Yasonna sudah sampai pada tahap pembicaraan dengan DPR dan memasukkannya ke Program Legislasi Nasional, kemungkinannya hanya dua: Menteri tidak berkonsultasi dulu dengan Presiden atau Presiden Jokowi dianggap sudah memberikan amanat.
Apa pun motivasi pemerintah dan DPR, adalah tugas Presiden Jokowi untuk menegur menterinya. Langkah Yasonna bersama DPR ini, jika berhasil, akan menjadikan KPK macan ompong. Lebih penting lagi, tugas Presiden Jokowi-lah memenuhi janjinya membangun pemerintah yang bersih, pemerintah yang tak memberi toleransi sedikit pun kepada korupsi. Itu hanya berarti satu hal: Presiden tak boleh membiarkan jantung kekuatan KPK dipreteli satu demi satu.
Justru tugas Presiden adalah memperkuat KPK, yang bahkan sejak awal pemerintahan Jokowi sudah menjadi bulan-bulanan aksi kriminalisasi terhadap pemimpinnya. Presiden harus membuktikan bahwa janjinya memperkuat KPK-di masa kampanye-bukanlah omong kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo