Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Richo Andi Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara UGM, anggota Constitutional and Administrative Law Society
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecurangan pemilu dilaporkan terjadi di aneka tempat. Besar kemungkinan para kandidat bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, bekas Ketua MK yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, Anwar Usman, sedang berjuang agar dirinya dapat kembali memimpin MK. Anwar beperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, menuntut pembatalan surat keputusan (SK) yang mengangkat Suhartoyo sebagai Ketua MK yang baru dan pencopotan dirinya sebagai Ketua MK lama.
Lalu, bagaimana sebaiknya PTUN dan publik bersikap dalam kasus ini?
PTUN Jakarta perlu memutus untuk "tidak menerima" gugatan Anwar Usman. Ada tiga argumentasi mengapa gugatan ini dianggap di luar dari yurisdiksi kompetensi PTUN. Pertama, SK tersebut tidak dikeluarkan oleh lembaga pemerintah, melainkan oleh lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi). Sehingga tidak memenuhi definisi keputusan yang dapat disengketakan di PTUN sebagaimana Pasal 1 angka 9 UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kedua, SK tersebut juga tidak dikeluarkan dalam rangka menjalankan lingkup pemerintahan sebagaimana logika Pasal 4 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Surat keputusan ini lahir untuk penyelenggaraan lingkup peradilan. Buktinya adalah SK tersebut dihasilkan dari musyawarah para hakim konstitusi untuk menyepakati figur yang dipilih menjadi pemimpin MK (Pasal 4 UU 8/2011 juncto 7/2020 tentang MK).
Ketiga, Pasal 2 huruf e UU 5/1986 menyatakan bahwa peradilan tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa SK yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan. Mengingat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dianggap sebagai pengawas di badan peradilan (MK), produk pemeriksaan MKMK juga dapat dipersamakan dengan putusan badan peradilan. Itu pula logika mengapa pemeriksaan MKMK bernama "putusan", bukan "keputusan".
Pun, jika hakim yang mengadili perkara ini menerima gugatan Usman, hendaknya pada putusan akhir tetap menolak gugatan tersebut. Usman perlu dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya. Diyakini, dalil gugatan Usman berkutat pada argumentasi yang menunjukkan kepantasan dirinya untuk tetap memimpin MK, dan menilai bahwa naiknya Suhartoyo tidak sah.
Jika demikian, argumentasi tersebut tumpul. Usman tidak imparsial karena berposisi sebagai ketua MK sekaligus paman Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden pada pasangan calon nomor urut 02.
Padahal, peran ketua MK sentral karena berwenang untuk memimpin sidang (Pasal 28 ayat 1, Pasal 45 ayat 4 UU 24/2003 tentang MK). Bahkan, jika terjadi deadlock dalam musyawarah atau voting, suara ketua MK-lah yang menjadi penentu (Pasal 45 ayat 8).
Posisi Usman menimbulkan ketidakpercayaan dari paslon dan pendukung capres-cawapres 01 dan 03 yang akan bersengketa di MK. Secara filosofis, jika orang atau lembaga tidak bisa dipercaya menjadi penengah, apa pun hasil yang dikeluarkan tidak akan dihormati.
Hal ini tentu berbahaya karena para pendukung paslon bisa melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan koridor hukum dalam merespons kekecewaan dan ketidakpercayaannya. Riset menunjukkan bahwa, jika rakyat tidak percaya dengan elite negaranya, rakyat akan cenderung melanggar hukum, menolak tertib, bahkan membangkang pada alat-alat negara (Marien and Hooghe, 2011).
Lebih dari itu, PTUN perlu menolak gugatan Usman guna "menebus dosa" yang ia buat sebelumnya.
Satu setengah tahun lalu, masyarakat menggugat Presiden dan Menteri Dalam Negeri karena melakukan dropping penjabat (Pj) kepala daerah tanpa regulasi yang jelas. Padahal MK memerintahkan pembentukan aturan turunan itu untuk memastikan prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas (paragraf 3.14.3 Putusan MK No. 67/2021).
Para penggugat menilai, tanpa aturan yang jelas, penunjukan penjabat berpotensi dipolitisasi dan menjadi mesin politik paslon yang terafiliasi dengan Istana. Sayang, gugatan ini malah tidak diterima oleh hakim PTUN Jakarta.
Padahal, apa yang dikhawatirkan para penggugat belakangan benar-benar terjadi. Ada penjabat yang menginstruksikan pencopotan baliho capres tertentu ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke daerahnya. Ada pula Pj yang enggan menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu untuk menghukum cawapres 02 yang kampanye sambil bagi-bagi susu.
Singkatnya, noda atas pemilu jurdil juga didukung oleh keluguan putusan PTUN dalam kasus penjabat kepala daerah. Maka, besar harapan publik agar hakim dalam kasus Anwar Usman ini tidak selugu koleganya sebelumnya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.