Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK Indonesia tak semestinya mengeluarkan peraturan tentang biaya pengisian ulang uang elektronik. Aturan yang dirilis dua pekan lalu itu justru menimbulkan kesan BI melindungi perbankan yang melakukan pungutan dari e-money yang mereka terbitkan. Pembebanan biaya itu sangat merugikan konsumen, yang seharusnya dilindungi kepentingannya.
Keluarnya peraturan tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) itu kontraproduktif dengan program Gerakan Nasional Non-Tunai yang justru gencar dikampanyekan BI sejak tiga tahun lalu. Bank sentral kerap menekankan pentingnya efisiensi, kepraktisan, dan keamanan bertransaksi secara nontunai. Penggunaan sistem ini juga meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian.
Lewat program itu, BI mendorong elektronifikasi transaksi di moda transportasi, retribusi parkir, hingga penyaluran bantuan sosial. Model pembayaran ala Go-Pay milik perusahaan Go-Jek, misalnya, dinilai sebagai salah satu instrumen nontunai yang amat cocok dengan "ideologi digital" saat ini. Go-Jek, yang masuk 17 besar perusahaan yang mengubah dunia versi majalah Fortune, sama sekali tak menerapkan pungutan top up Go-Pay kepada pelanggannya.
Sungguh ironis jika Bank Indonesia yang bersemangat mendorong digitalisasi perbankan justru melegalkan pungutan pengisian ulang e-money. Yang diatur memang biaya batas maksimal yang diperbolehkan, dengan nilai yang tampaknya kecil, yaitu Rp 1.500 setiap top up. Tapi, lewat aturan itu, BI jelas telah memberi dasar hukum kepada bank penerbit kartu elektronik untuk mengambil pungutan dari masyarakat.
Sebuah bank menyatakan akan mengeluarkan 1,5 juta kartu baru e-money untuk menambah 6,5 juta kartu yang telah diterbitkan. Setidaknya ada enam bank yang menjadi pemain utama di bisnis kartu elektronik ini. Sudah pasti pula jumlah transaksi mereka, ditambah perusahaan retail yang juga mengeluarkan kartu elektronik, sangatlah besar. Di jalan tol saja ada 3,4 juta transaksi per hari di ruas milik PT Jasa Marga. Ditambah ruas milik perusahaan swasta, total ada 5 juta transaksi per hari.
Pihak bank beralasan pengenaan biaya isi ulang itu dibutuhkan untuk ongkos penyediaan dan perawatan infrastruktur. Bank Central Asia menyatakan memerlukan Rp 80 miliar per tahun untuk produksi kartu, penyediaan alat, dan perawatan jaringan transaksi nontunai. Bank Mandiri menyebutkan pendapatan dari biaya isi ulang akan dimanfaatkan untuk investasi mesin electronic data capture dan kartu. Pertanyaannya: mengapa malah konsumen yang harus menanggung semua itu? Bukankah uang mereka di sana mengendap tanpa bunga? Lagi pula, bukankah konsumen sudah dikenai biaya pembelian kartu?
Pungutan itu jelas akan menambah ongkos logistik. Sementara sebelumnya pengguna jalan tol bisa menggunakan uang tunai tanpa ada pungutan saat isi ulang, kini ketika mereka memakai teknologi yang semestinya serba memudahkan justru harus mengeluarkan uang tambahan. Ongkos isi ulang itu berseberangan dengan tekad pemerintah yang ingin menekan biaya logistik hingga seminimal mungkin.
Digitalisasi perbankan tak bisa dibendung. Kelak orang tak lagi membutuhkan bank konvensional. Di Inggris saja jumlah kantor bank menyusut 15 persen. Mereka beralih ke layanan digital. Jika tak gesit mengantisipasi, perbankan niscaya akan ditinggalkan konsumen. Jika masih memberi disinsentif kepada konsumen, bank-bank penerbit kartu elektronik akan dengan cepat kehilangan kepercayaan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo