Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERTANGKAPNYA kucing besar yang diduga harimau Jawa di Ujung Kulon menggembirakan sekaligus menyedihkan. Ada harapan bahwa hewan langka ini ternyata belum punah seperti dinyatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 1994. Tapi menyedihkan karena foto yang diambil jagawana taman nasional itu dirilis ketika belum ada uji saintifik untuk memastikan kucing tersebut memang benar Panthera tigris sondaica.
Merilis foto harimau, kendati masih dalam status dugaan, lengkap dengan lokasi penemuannya justru membahayakan karnivora itu. Para pemburu akan dengan sukacita menyambut kabar ini. Mempublikasikan foto itu tanpa uji ilmiah juga menunjukkan pemerintah tak punya prosedur standar dalam soal seperti ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya menggandeng LIPI atau lembaga riset mamalia besar untuk membahasnya sebelum mempublikasikannya.
Konfirmasi apakah "temuan" itu benar harimau Jawa akan berimplikasi pada perlakuan terhadapnya. Jika benar harimau Jawa belum punah, pemerintah setidaknya harus menurunkan banyak tim untuk menelitinya, mempelajari pola hidup dan habitatnya, serta mensterilisasi taman nasional untuk menjaga agar harimau itu tetap liar di dunianya. Dengan merilis foto secara serampangan, temuan berharga ini menjadi ternoda.
Merilis tanpa penjelasan ilmiah sama saja melepas hewan langka tanpa perlindungan. Apalagi Taman Nasional Ujung Kulon terbuka bagi kunjungan turis. Hutan tropis di ujung barat Pulau Jawa ini tersambung dengan daratan utama dan bisa dimasuki lewat laut dari banyak pantai. Para jagawana tak akan bisa mencegah orang-orang jahat masuk ke hutan dan mengubek-ubek sudut-sudutnya untuk sekadar membuktikan kebenaran foto itu.
Di Indonesia, perdagangan hewan langka masih marak. Konsumennya terentang dari kelas menengah ke atas yang bangga memiliki dan memamerkan hewan langka yang diawetkan. Tak jarang kolektor itu adalah pejabat negara atau penegak hukum, yang seharusnya mengerti bagaimana menjaga lingkungan dan paham tentang peran penting fauna langka bagi bumi ini.
Lebih ironis pernyataan resmi ilmuwan LIPI yang menganalisis foto "harimau" itu dari gambar yang beredar di media. Terkesan tak ada kerja sama antara lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga riset. Pernyataan resmi LIPI atas analisis foto itu dengan menyebut kucing besar tersebut sebagai macan tutul lebih terasa sebagai apologia untuk mengalihkan mata pemburu dari hewan langka ini.
Kesimpulan tentang macan tutul itu pun tak ditopang data yang valid. LIPI hanya membandingkan morfologi kucing besar di foto itu dengan hewan di sekelilingnya. LIPI tak punya pembanding dengan data real ukuran tubuh harimau Jawa. Kita, yang menjadi satu-satunya negara habitat harimau, tak punya data resmi ukuran tubuh hewan ini.
Walhasil, pernyataan LIPI juga sama tak pastinya dengan keyakinan para jagawana tentang harimau Jawa itu. Makin ironis bahwa Indonesia, yang memiliki hutan tropis-rumah bagi aneka satwa langka-tak banyak memiliki data tentang kekayaan hayati itu. Penemuan kucing besar ini seharusnya mengusik lembaga-lembaga riset menggiatkan penelitian dan membenahi penyimpanan datanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo