Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN Uni Eropa yang terus membuka pintu bagi minyak jelantah semestinya menjadi sinyal bahwa ada yang keliru pada cara Indonesia memandang residu minyak goreng. Ketika negara lain memperbesar pemanfaatannya, pemerintah tak kunjung mengoptimalkan potensi minyak jelantah sebagai bahan baku pengembangan biofuel nasional. Indonesia malah terjebak dalam upaya "mengamankan" pasar sawit yang terus dikampanyekan tengah terancam oleh arah kebijakan global yang pro-iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebulan terakhir, isu pengetatan kebijakan impor minyak sawit di Uni Eropa kembali mengemuka. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal Maret lalu memutus sengketa yang diajukan Malaysia sejak 2021 atas kebijakan Uni Eropa yang dianggap diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam putusannya, panel WTO menolak gugatan Malaysia sekaligus mendukung sikap dan kewenangan Uni Eropa dalam mengatur bahan bakar nabati dari sawit demi kepentingan lingkungan hidup. Walau begitu, WTO juga menilai ada kelemahan dalam penerapan kriteria risiko yang menjadi dasar kebijakan Uni Eropa tersebut—petitum yang kemudian diklaim Malaysia sebagai kemenangan.
Terlepas dari perdebatan atas putusan tersebut, dampak putusan WTO dalam sengketa Malaysia versus Uni Eropa itu merembet ke Indonesia yang lebih dulu mengajukan gugatan serupa. Pemeriksaan panel WTO dalam sengketa Indonesia versus Uni Eropa ini tengah ditunda untuk sementara waktu. Namun sejauh ini pemerintah RI berikrar akan terus melawan kebijakan Uni Eropa yang dituding telah melarang impor sawit dari Indonesia.
Celakanya, perang yang dikumandangkan duo produsen sawit terbesar di dunia terhadap kebijakan Uni Eropa itu menimbulkan sejumlah persoalan. Disinformasi bermunculan. Sedangkan pengembangan bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan malah merangkak, setidaknya di Indonesia.
Disinformasi Kebijakan Uni Eropa
Penting untuk diketahui bahwa istilah "palm ban" tidaklah 100 persen benar. Sebab, pada dasarnya Uni Eropa hanya membatasi pemberian insentif untuk biofuel dari sawit.
Pernyataan bahwa sawit Indonesia dilarang di Uni Eropa jelas keliru. Kebijakan Uni Eropa, yang tertuang dalam Renewable Energy Directive, hanya mengatur biofuel dari sawit tidak lagi mendapat insentif atau subsidi pada 2030 apabila produk tersebut tidak tersertifikasi low-ILUC. Sertifikasi ini bertujuan memastikan sawit sebagai bahan baku tak berisiko tinggi menyebabkan perubahan penggunaan lahan tak langsung (indirect land-use change/ILUC).
Artinya, untuk mendapat insentif, biofuel dari sawit harus melalui proses sertifikasi yang menunjukkan produsen minyak sawit telah memenuhi persyaratan tertentu untuk membatasi emisi perubahan penggunaan lahan. Hal tersebut salah satu upaya Uni Eropa dalam menjaga isu keberlanjutan.
Sebenarnya biofuel dari sawit tanpa sertifikat low-ILUC masih dapat digunakan tanpa batasan di Uni Eropa, tapi tidak lagi mendapat insentif dari pemerintah. Selain itu, penggunaan produk makanan berbasis sawit masih terus berlanjut tanpa larangan.
Pintu Terbuka bagi Minyak Jelantah
Uni Eropa berniat menghapus insentif untuk biofuel dari sawit yang memicu deforestasi. Namun insentif untuk biofuel dari minyak jelantah terus diberikan. Tercatat bahwa Uni Eropa mengimpor minyak jelantah dalam jumlah banyak dari Asia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan hasil studi International Council on Clean Transportation (ICCT), Indonesia memiliki potensi minyak jelantah yang tinggi, yakni sekitar 715 ribu ton per tahun. Besar kemungkinan produk ini akan mengalir ke pasar ekspor Eropa.
Minyak jelantah dari Indonesia, yang termasuk hasil olahan sawit, memang tetap diterima dan mendapat insentif di Uni Eropa. Sebab, minyak jelantah dikategorikan sebagai limbah yang merupakan hasil dari aktivitas sebelumnya. Karena itu, emisi biofuel dari minyak jelantah dan sawit tidaklah dihitung sama. Jadi minyak jelantah akan tetap dihasilkan atau diproduksi walaupun tanpa adanya insentif untuk biofuel.
Ke depan, penggunaan biofuel minyak jelantah di Uni Eropa diperluas, bukan saja untuk sektor transportasi darat, tapi juga laut dan udara. Maka dapat diprediksi bahwa kebutuhan biofuel dari minyak jelantah diperkirakan naik, terutama setelah ReFuelEU Aviation dan FuelEU Maritime mulai berjalan pada 2025. Bisa jadi makin banyak minyak jelantah dari Indonesia digunakan untuk biofuel di Uni Eropa.
Potensi Limbah Minyak Terabaikan
Berbeda dengan Uni Eropa, Indonesia belum menjadikan minyak jelantah sebagai bagian dari program biofuel nasional. Pengumpulan minyak jelantah di Indonesia banyak berfokus untuk ekspor, hanya sebagian kecil untuk memproduksi yang digunakan secara terbatas. Padahal potensi minyak jelantah dan limbah minyak lain, seperti limbah minyak ikan dan tall oil, cukup besar di Indonesia. Studi ICCT mencatat potensi limbah minyak ikan dan tall oil bisa mencapai sekitar 510 ribu ton per tahun.
Selain untuk memproduksi biodiesel, minyak jelantah dan limbah minyak lain bisa digunakan untuk memproduksi green diesel atau green avtur yang selama ini diproduksi Pertamina di kilang dengan campuran minyak sawit. Limbah minyak jelantah semestinya dapat dijadikan opsi sehingga biofuel nasional tidak bertumpu pada sawit sepenuhnya.
Kendati begitu, upaya mengoptimalkan pemanfaatan minyak jelantah dan limbah minyak lain memerlukan dukungan kebijakan yang komprehensif. Inilah yang selama ini absen di tengah kesibukan pemerintah melawan kebijakan Uni Eropa demi melindungi industri sawit. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang memayungi penggunaan minyak jelantah untuk program biofuel nasional. Sebaliknya, Indonesia malah bertumpu pada penggunaan sawit dan bahan pangan lain untuk program biofuel.
Pemerintah harus segera mengubah paradigma jika tak ingin tertinggal oleh arah perdagangan global yang makin ramah lingkungan. Tak terbayang betapa kerugian bakal terus menggelembung ketika Indonesia tak mampu memanfaatkan aneka bahan baku biofuel yang lebih ramah lingkungan dan membiarkan semuanya pergi ke pasar Uni Eropa.
Kolom Hijau merupakan Kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.