SADAR atau tidak, seorang Presiden Amerika Serikat akan dipaksa
menghadapi kenyataan, bahwa kepemimpinannya di dunia sama
pentingnya dengan kepemimpinannya di dalam negerinya sendiri.
Presiden Kennedy pernan memberikan petuah, banwa kebijaksanaan
dalam negeri hanya dapat "mengalahkan", tetapi kebijaksanaan
luar negeri dapat "mematikan". Walaupun demikian, Presiden
Reagan tidak secara otomatis mengikuti petuah ini. Mungkin
memang hanya pengalaman sendiri merupakan guru yang terbaik.
Administrasi Reagan sejauh ini lebih memusatkan perhatiannya
pada soal-soal dalam negeri Amerika Serikat, khususnya untuk
menyehatkan ekonominy. Sudah jelas bahwa tanpa dukungan ekonomi
yang sehat dan kuat sulit diharapkan dapat dimobilisasi dukungan
rakyat bagi kebijaksanaan luar negeri yang benar-benar bersifat
internasional.
Tapi di bidang luar negeri Reagan belum berhasil merumuskan
suatu kebyaksanaan yang jelas dan lengkap.
Berbagai tokoh pemerintahan masih kerap memberikan pendapat yang
saling berbeda, bahkan bertentangan. Kita lihat misalnya dalam
kebijaksanaan mengenai El Salvador perundingan dengan Uni
Soviet mengenai penempatan senjata-senjata taktis di Eropa
pengaturan hubungannya dengan RRC dan Taiwan dalam mencari
penyelesaian konflik di Timur Tengah dan dalam menentukan sikap
mengenai Afrika Selatan dan masalah Namibia.
Dalam suatu pemerintahan baru, seringkali tidak bisa dielakkan
terjadinya ketidakserasian dalam perumusan kebijaksanaan.
Mungkin dengan pembentukan tim koordinasi kebijaksanaan luar
negeri di bawah Wakil Presiden Bush barubaru ini, Pemerintah
Reagan akan memberikan prioritas yang lebih besar pada
masalah-masalah luar negeri. Tetapi yang penting untuk
dipertanyakan adalah sejauh mana akan dilakukan koreksi dalam
pendekatan dari kebijaksanaan luar negeri Amerika Serikat.
Momok Soviet
Kebijaksanaan luar negeri Amerika Serikat cenderung menggunakan
pendekatan anti-Soviet secara berlebihan. Seolah-olah, "di balik
setiap semak mengancam bahaya Rusia."
Pendekatan ini telah dijadikan dalih untuk mendorong NAT0 dan
Jepang untuk meningkatkan anggaran pertahanan mereka
menempatkan roket Pershing dan Cruise missiles di Eropa Barat
menyusun suatu kerjasama anti-Soviet di Timur Tengah
menghadapi Vietnam dan konflik di lndocina memutuskan penjualan
senjata kepada RRC dan bahkan dalam mengatur hubungannya dengan
Afrika Selatan dan negara-negara Afrika Hitam.
Kebijaksanaan "tegas" terhadap Uni Soviet itu dianggap mutlak
diperlukan, untuk dapat memobilisasi dukungan rakyat Amerika
Serikat bagi usaha meningkatkan anggaran pertahanannya, untuk
mengimbangi peningkatan kekuatan militer Uni Soviet di
mana-mana, di samping untuk memberikan kepastian dan menanamkan
kepercayaan kembali di pihak sekutu dan teman-teman Amerika
Serikat.
Namun, pendekatan anti-Soviet semata-mata ini tidak akan
membantu menyelesaikan berbagai persoalan internasional masa
kini. Bahkan, ia bisa menjadi bumerang bagi Amerika Serikat
sendiri.
Pertama-tama, karena kerawanan dan konflik internasional atau
regional tidak harus bersumber pada ulah Uni Soviet. Dalam
banyak hal, konflik di Dunia Ketiga berawal dari
persoalan-persoalan domestik atau regional yang pada tahapan
berikutnya baru dapat dimantaatkan oleh Uni Soviet untuk
kepentingan politiknya. Hal ini terlihat dalam Angola, Ethiopia,
Yaman Selatan, Afghanistan dan juga di Indocina.
Pendekatan yang menginflasikan momok Soviet itu juga akan
menanamkan kepercayaan mengenai kekuatan Uni Soviet di panggung
internasional. Pada gilirannya ini akan mempengaruhi pola
kebijaksanaan yang diambil oleh negara-negara lain, khususnya
negara-negara Dunia Ketiga. Sebagai akibatnya, persepsi bisa
berubah menjadi kenyataan.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat sendiri bisa mengesankan
kepada dunia mengenai ketidakmampuannya menghadapi Uni Soviet
dan dalam mengatasi berbagai persoalan internasional.
Uni Soviet memang menunjukkan kemajuan di bidang militer dan
dalam pengaruh politiknya di negara-negara tertentu. Tetapi pada
saat yang bersamaan, kelemahan fundamental di dalam negerinya
juga semakin tampak ke luar.
Implikasi internasional dari perkembangan ini cukup luas. Secara
ideologis, daya tarik Uni Soviet semakin pudar. Ekonomi Soviet
berada dalam keadaan stagnasi yang parah. Walaupun Uni Soviet
berhasil merangkul beberapa negara dalam pengaruhnya, tetapi
sebenarnya negara-negara ini kurang berarti dibandingkan dengan
negara-negara yang melepaskan diri dari pengaruh Uni Soviet,
seperti RRC, Mesir. Irak -- dan sampai tingkat tertentu Rumania
dan akhir-akhir ini juga Polandia.
Bagi banyak negara Dunia Ketiga, Uni Soviet bukan lagi kekuatan
progresif seperti yang dimitoskan melalui bantuan terhadap
gerakan-gerakan nasional melawan kolonialisme, terutarma setelah
penyerbuan Uni Soviet terhadap Afghanistan. Hal ini jelas
terlihat dari reaksi negara-negara Dunia Ketiga di PBB, dalam
Konperensi Nonblok dan dalam Konperensi Negara-negara Islam.
Supremasi Militer
Amerika Serikat memang perlu menjaga perimbangan di hidang
militer, untuk dapat mengatur hubungan yang stabil dengan Uni
Soviet. Tanpa perimbangan ini kebijaksanaannya di bidang
politiko-diplomatik dan ekonomi akan sangat terbatas artinya.
Namun demikian, pendekatan yang sematanlata bersifat militer dan
persenjataan tidak akan memadai dalam pengaturan hubungannya
dengan negara lain, khususnya Dunia Ketiga.
Pola pendekatan serupa ini hanya mempunyai manfaat bagi
negara-negara yang sedang menghadapi krisis tertentu. Tetapi
seketika krisis itu teratasi, hubungan tersebut tidak
bermanfaat, dan malahan seringkali menimbulkan
ketegangan-ketegangan tambahan bagi negara-negara tersebut.
Kebijaksanaan luar negeri Amerika Serikat yang hanya bernaung di
bawah "panji anti-Soviet" dan yang hanya berorientasi pada
perimbangan militer dan persenjataan, jelas tidak memadai bagi
pengaturan hubungannya dengan Dunia Ketiga. Amerika Serikat
merupakan kekuatan ekonomi sebagai sumber modal dan teknologi
--yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara Dunia Ketiga demi
pembangunan nasional masing-masing dan dengan. demikian demi
stabilitas dan kesejahteraan internasional.
Kebijaksanaan Pemerintah Reagan dalam hubungan ini justru lemah,
karena menyerahkan pengaturannya pada sektor swasta dan
mekanisme pasar. Dengan pola ini sukar diharapkan dapat
ditumbuhkan kepekaan dalam kebijaksanaan Amerika Serikat
mengenai masalah-masalah Utara-Selatan, Hukum Laut
Internasional, harga-harga komoditi, dan akses ke pasar Amerika
Serikat bagi barang-barang produksi Dunia Ketiga.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan Presiden Reagan sudah sering diberi
atribut terlalu simplistis. Inti permasalahannya sebenarnya
adalah kekurangpekaan terhadap dinamika perkembangan dunia,
aspirasi negara-negara Dunia Ketiga, dan mengenai hakikat serta
sumber-sumber konflik, khususnya di Dunia Ketiga.
Tetapi untuk mengisi kekurangan ini hanya Dunia Ketiga
sendirilah yang dapat dan harus memberikan
pemikiran-pemikirannya secara lantang, dan bertubi-tubi, supaya
terdengar di telinga Washington.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini