Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
April 2006, angkatan bersenjatra Timor Leste yang jumlahnya 1.500 personel itu pecah; 600 orang bergabung dengan kelompok Alfredo Reinado yang bersenjata lengkap.
Masalah itu tidak lenyap ditelan bumi ketika Alfredo Reinado yang memberontak memutuskan untuk naik gunung di kawasan penghasil kopi di belahan barat Timor Leste. Semua tahu, Reinado tidak jadi pertapa setelah kerusuhan berhari-hari yang menewaskan 37 orang pada April 2006 itu. Ia menyusun sesuatu yang serius untuk negerinya yang masih ”hijau” dan banyak persoalan.
Reinado adalah suara orang banyak. Ia senada dengan anak-anak muda penganggur yang tidak bisa disuruh sabar di Dili dan kota besar lainnya. Ia seirama dengan mayoritas rakyat yang antipasukan asing dan muak dengan politikus korup yang sering ribut dengan lawan-lawan politiknya demi kepentingan kelompok.
Maka Reinado cepat populer, jadi hero, dan terakhir jadi martir manakala ia bersama seorang koleganya mati bersimbah darah di kediaman Presiden Ramos Horta, Senin pekan lalu. Pengawal kepresidenan menembak wajahnya yang tak terlindung. Sebuah kematian yang hingga akhir pekan lalu masih menyimpan misteri: adakah itu satu kudeta yang gagal seperti dikatakan Perdana Menteri Xanana Gusmao? Ataukah bagian dari usaha menculik ”dwitunggal” Xanana-Horta yang kemudian melenceng dari skenario semula?
Reinado pergi meninggalkan sebuah negeri yang, tentu saja, belum berubah: pembicaraan damai belum selesai; ratusan anak buahnya masih menenteng senjata otomatis. Bisa diduga bila Perdana Menteri Xanana Gusmao memproklamasikan keadaan darurat dalam 48 jam terakhir, yang kemudian diperpanjang jadi 10 hari. Xanana juga menunggu bala bantuan 800 personel penjaga perdamaian Australia dan 1.600 polisi PBB.
Maka, di Timor Leste kita seakan melihat parade pasukan asing: 780 personel dari Australia, 170 orang dari Selandia Baru yang tergabung di dalam ISF (pasukan stabilisasi internasional), ditambah 1.473 polisi penjaga perdamaian PBB, kekuatan gabungan dua puluhan negara.
Timor Leste yang kecil tapi sangat high profile di dunia internasional itu akhirnya kerap dipandang dengan pendekatan keamanan. Kerusuhan dua tahun lalu telah membuat 150 ribu warganya menjadi pengungsi, seraya menyebar kecemasan ke negara-negara tetangganya. Indonesia memang tak menunjukkan hasrat buat mengirim pasukan; ada pengalaman sejarah yang tidak kalah penting dibandingkan dengan pendekatan keamanan. Indonesia cukup menutup perbatasan. Namun, negara seperti Australia tak mengalihkan perhatiannya dari sudut pandang keamanan.
Padahal, belajar dari kasus Afganistan dan Irak, pendekatan ini tidak cukup berhasil mengatasi setumpuk masalah yang menjadi royan. Pasukan Amerika Serikat yang lima tahun silam masuk dan berhasil menundukkan kekuatan militer Saddam Hussein, lantas terperangkap tanpa sebuah exit strategy yang jitu. Di Afganistan, pasukan PBB, NATO dan Amerika terus menghadapi aksi-aksi kekerasan yang dimotori Taliban.
Semestinya peningkatan kesejahteraan masyarakat Timor Leste tidak dipandang sebagai kurang penting dibandingkan bantuan keamanan yang diberikan negara-negara ”simpatisan” bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Cerita tentang Reinado adalah cerita yang bisa tumbuh di mana saja, apalagi di negeri yang baru merdeka dan rakyatnya mulai sadar bahwa merdeka juga berarti menghadapi sejuta masalah dan penderitaan. Dan aksi Reinado berawal dari situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo