Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYANG sekali kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu menolak datang ke sidang interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat. Ajang itu tidak seharusnya dilihat sebagai pengadilan, tapi sebagai kesempatan untuk menjelaskan. Tiga kali menolak datang ke Senayan bukan merupakan contoh komunikasi politik yang baik. Apalagi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), topik interpelasi kali ini, tidak pernah tuntas ditangani tiga pemerintah pendahulu Presiden Yudhoyono.
BLBI jelas merupakan skandal keuangan nasional. Diguyurkan pemerintah untuk bank yang ugal-ugalan menyalurkan kredit bagi kelompok sendiri, lebih dari sepuluh tahun lalu, dampak buruknya dipikul rakyat bertahun-tahun ke depan. Untuk membayar bunganya saja, anggaran belanja negara harus menanggung sekitar Rp 50 triliun per tahun.
Krisis moneter menjelang akhir kekuasaan Soeharto pada 1997 itu membuat pemerintah panik. Enam belas bank keropos ditutup. Nasabah pun ramai-ramai menarik dana dari bank mana pun. Bank Indonesia, yang ketika itu masih di bawah pemerintah, dalam beberapa hari menggelontorkan bantuan likuiditas Rp 144 triliun untuk mengatasi rush tersebut.
Bisa diduga, langkah masa darurat itu akhirnya menjadi beban berat pemerintah. Utang pemilik bank dianggap lunas, BLBI itu dikonversi menjadi saham pemerintah. Kita tahu para konglomerat itu masih punya utang kepada bank. Perusahaan mereka belum melunasi kredit. Pengelolaan perusahaan yang serampangan dan penuh kolusi, ditambah krisis ekonomi, membuat mereka gagal bayar. Akhirnya mereka menyetorkan aset—yang nilainya bagus, tapi tak sedikit juga yang ”busuk”. Malapetaka terbesar perbankan Indonesia itu pun dimulai.
Celakanya, pemerintah seperti dua kali jatuh. Sudah kehilangan banyak dana karena aset-aset konglomerat dijual murah, ternyata sebagian konglomerat yang sama menguasai kembali aset mereka melalui tangan orang lain. Sudah begitu, lima pengutang terbesar dinyatakan lunas oleh pemerintah sebelum Presiden Yudhoyono. Padahal boleh dibilang mereka baru membayar sepertiga jumlah utang.
Mestinya undangan DPR kali ini dipakai Presiden Yudhoyono untuk menjelaskan ”hal-hal ajaib” seputar BLBI tadi. Ia bisa bicara lantang tentang komitmen pemerintahannya untuk terus menagih utang tersisa, sekaligus bertindak keras untuk pelanggaran pidana dalam kasus itu.
Presiden Yudhoyono semestinya berpeluang mengutarakan sikap pemerintah melacak kemungkinan kongkalikong di balik penilaian aset konglomerat. Sudah banyak diberitakan, aset itu dinilai sangat tinggi ketika konglomerat melunasi utang, tapi nilainya jatuh sewaktu pemerintah menjualnya. Kemungkinan yang tidak boleh dibiarkan tanpa pengusutan: konglomerat bermain mata dengan orang dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional—lembaga yang menangani dan menjual aset-aset itu.
Presiden juga bisa menyarankan partai politik tidak melakukan politisasi BLBI. Ia bisa mengingatkan bahwa sejak awal partai-partai juga terlibat dalam penyelesaian masalah ini melalui parlemen. DPR juga perlu ”diingatkan” bahwa saat membahas kasus ini pula belasan miliar duit BI diduga digelontorkan untuk anggota Dewan—kasus ini sekarang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seperti dalam kasus lumpur Lapindo, hak bertanya wakil-wakil rakyat dalam urusan BLBI seharusnya mendapatkan jawaban penanggung jawab tertinggi pemerintahan.
Sayang sekali Presiden melewatkan panggung penting ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo