Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepercayaan adalah modal utama sebuah bank. Bank Indonesia, sebagai institusi yang bertugas menjaga kepercayaan terhadap nilai mata uang Republik Indonesia, tentu memahami doktrin ini. Itu sebabnya berita tentang dugaan pembayaran uang pelicin oleh instansi ini kepada anggota parlemen dan penegak hukum sungguh merisaukan.
Dugaan yang mencuat setelah Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit ini jelas perlu diusut tuntas. Kini Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Gubernur BI dan dua pembantunya sebagai tersangka serta mencekal 16 mantan pejabat BI. Bahkan para tersangka itu, kecuali Gubernur Burhanuddin Abdullah, telah ditahan. Penahanan biasanya hanya dilakukan KPK bila badan hukum ini merasa punya bukti-bukti yang kuat. Persoalannya sekarang, bila mereka yang diduga memberikan suap telah dinyatakan sebagai tersangka dan mulai disidik, bagaimana dengan para penerima uang haram itu?
Majalah ini berharap para pejabat BI yang terlibat dalam kasus itu bersedia membantu aparat hukum untuk membeberkan semua informasi yang mereka miliki. Soalnya, sudah menjadi pembicaraan luas di kalangan birokrat dan pengamat politik tentang ulah satu-dua gelintir wakil rakyat dan penegak hukum yang gemar melakukan pemerasan atau jual-beli wewenang. Proses pembuatan undang-undang dan penyusunan kebijakan pemerintah yang memiliki konsekuensi ekonomi biasanya menjadi mangsa empuk para penjahat politik dan hukum ini.
Menurut bisik-bisik yang cukup dipercaya di kalangan pemerintahan, para pejabat publik yang ambisius, yang agak pandir, ataupun memang tak bersih-bersih amat kerap menyambut tawaran jual-beli ini. Akibatnya memang merugikan rakyat berlipat-lipat. Tidak hanya sebagian uang negara dicuri, alokasi pemanfaatan dana publik yang jumlahnya terbatas itu pun jadi jauh dari maksimum. Program di berbagai instansi pemerintah mendapat anggaran bukan karena dianggap paling bermanfaat buat orang ramai, melainkan semata-mata karena menguntungkan kepentingan pihak yang melakukan ”jual-beli” itu.
Praktek seperti ini, apabila dibiarkan, akan merusak negara bagai sel kanker membinasakan tubuh. Sejarah bangsa ini mencatat bagaimana VOC, yang pernah menjadi perusahaan dagang terbesar di dunia, mengalami kebangkrutan karena korupsi. Negara lain pun memiliki kisah yang mirip. Dulu Haiti dan Argentina pernah masuk kelompok 10 negara terkaya di dunia dan mampu memberikan bantuan luar negeri ke negara-negara Skandinavia, yang sampai 1930-an masih miskin. Kedua negara itu kini malah memerlukan bantuan luar negeri. Haiti bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai negara gagal.
Indonesia tentu tak boleh mengulang kisah buruk VOC, malah perlu belajar dari pengalaman negara lain. Walhasil, setiap pencurian uang rakyat oleh para penyelenggara negara harus dikenai hukum cukup berat hingga menimbulkan efek jera. Selain itu, yang bahkan jauh lebih penting adalah membangun sistem kenegaraan yang punya daya tangkal tinggi terhadap serangan penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Upaya yang sedang dilakukan pemerintah dalam menertibkan rekening liar di berbagai kantor dinas adalah contoh langkah yang sudah tepat, tapi belum memadai. Penertiban serupa wajib dilakukan pada berbagai yayasan dan koperasi yang marak di kantor-kantor pemerintah. Itu bukan berarti kedua lembaga ini buruk, namun dalam prakteknya ternyata keduanya kerap dimanfaatkan untuk menjadi tempat penampungan dana di luar anggaran yang penggunaannya tak dipertanggungjawabkan.
Skandal Bank Indonesia pun melibatkan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena pengurus puncak YPPI adalah juga pimpinan BI—sebuah kebiasaan di berbagai yayasan di kantor-kantor pemerintah. Berbagai kasus korupsi lain, termasuk di kalangan militer, juga bermodus memanfaatkan yayasan pelat merah masing-masing.
Penertiban ini tentu tak hanya dengan sekadar menutup yayasan, tapi harus merupakan bagian menyeluruh dari gerakan reformasi birokrasi. Soalnya, sistem anggaran pemerintah di masa lampau memang cenderung ”memaksa” para pemimpin birokrasi membangun yayasan untuk membiayai kegiatan operasional tak terduga yang pendanaannya sulit diambil dari anggaran. Kini, dengan anggaran baru, seharusnya dipastikan dulu bahwa pembiayaan berbagai kebutuhan operasional yang sah itu dapat dilakukan sebelum semua yayasan dibubarkan. Pembubaran pun hanya bisa dilakukan bila yayasan telah diaudit dan pertanggungjawabannya dapat diterima.
Audit, bila dilakukan dengan benar, memang merupakan alat ampuh membongkar korupsi. Audit BPK terbukti telah menemukan penyimpangan di BI. Kini audit-audit lain perlu dilakukan agar kita tak hanya menemukan penyimpangan, tapi juga dapat membangun sistem yang lebih baik, yang daya tangkalnya terhadap korupsi lebih tinggi. Tugas ini mungkin akan jatuh di bahu Agus Martowardojo, bankir kawakan yang diusulkan pemerintah menjadi Gubernur Bank Indonesia mendatang. Suksesnya membersihkan Bank Mandiri diharapkan dapat diulang di Bank Indonesia.
Hanya Bank Indonesia yang bersih yang dapat meraih kepercayaan publik. Hanya Bank Indonesia yang dipercaya yang dapat menjalankan tugasnya menjaga nilai dan stabilitas mata uang Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo