Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rezim Fiskal Hasil Hutan

Indonesia dianugerahi hutan tropis yang luas, mencapai 120 juta hektare, terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo.

21 Desember 2017 | 06.30 WIB

Hutan hujan tropis. Dok Tempo
Perbesar
Hutan hujan tropis. Dok Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiko Saputra
Pegiat Anti-Korupsi Auriga Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia dianugerahi hutan tropis yang luas, mencapai 120 juta hektare, terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Hutan tropis kaya akan keragaman hayati yang dapat menjadi sumber penghidupan dan modal pembangunan. Namun potensinya tak termanfaatkan dengan baik. Justru terjadi eksploitasi yang mengancam keberlanjutan pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak hutan dijadikan komoditas ekonomi, eksploitasinya berlangsung masif. Malah pemerintah melakukan legalisasi dalam bentuk izin pengelolaan hasil hutan, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Saat ini, total luas lahannya mencapai 30 juta hektare atau seperempat dari luas tutupan hutan.

Namun pengelolaan hasil hutan sebagai sebuah komoditas ekonomi bukannya memberikan nilai tambah, melainkan justru menjadi bancakan korupsi. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola hasil hutan, yang salah satunya tata kelola fiskal.

Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (2015) menemukan kerugian negara sebesar Rp 5,24-7,24 triliun per tahun atau setiap hari negara kehilangan sebesar Rp 14,3-19,8 miliar. Ada enam persoalan yang menjadi penyebabnya, yaitu buruknya data perencanaan dan penatausahaan, tidak berjalannya fungsi pengendalian, mekanisme akuntabilitas eksternal tidak memadai, terbatasnya penegakan hukum, aturan tarif yang membuka ruang eksploitasi, serta tidak adanya kontrol dan pengawasan publik.

Di Indonesia, rezim fiskal hasil hutan mengatur instrumen pungutan berupa dana reboisasi, provisi sumber daya hutan (PSDH), dan pengganti nilai tegakan (PNT) yang dalam aturannya masuk ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Basis perhitungannya adalah volume kayu yang ditebang dan dipanen dari hutan alam dan hutan tanaman dikalikan harga patokan dan tarif pungutan.

Dana dipungut oleh pemerintah pusat, sebagian dikelola langsung dan sebagian dikembalikan ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada 2016, total PNBP Kehutanan mencapai Rp 3,75 triliun dan DBH yang ditransfer ke daerah sebesar Rp 1,53 triliun atau 40,8 persen kembali ke daerah penghasil.

Ada dua hal yang menurut saya menjadi masalah utama dalam tata kelola fiskal hasil hutan. Pertama, buruknya sistem tata kelola penerimaan. Banyak kayu hasil hutan tak tercatat, baik di area berizin maupun tak berizin. Ini terjadi karena pemegang izin tidak melaporkan hasil produksi dengan baik. Ini mereka lakukan untuk tujuan menghindari pungutan dan pajak.

Selain itu, aturan tarif pungutan yang rendah menyebabkan tingginya risiko penggundulan hutan dan bancakan korupsi. Penetapan harga patokan jauh di bawah harga pasar sehingga beban kewajiban pelaku usaha menjadi kecil dan mereka leluasa memperluas izin konsesi serta menyisihkannya untuk menyuap pejabat.

Kedua, buruknya sistem penggunaan dana. Basis DBH adalah daerah penghasil dan hasil produksi. Maka, semakin banyak izin dan hasil produksi, semakin besar DBH yang diterima oleh daerah. Sesungguhnya kita telah memberikan insentif bagi daerah untuk mengeksploitasi hutannya sendiri.

Selain itu, penggunaan dana reboisasi masih polemik. Dana reboisasi yang dikelola dalam bentuk DAK disalurkan ke daerah tapi tak digunakan optimal oleh daerah. Sampai saat ini, masih ada dana reboisasi yang mengendap di daerah, besarannya mencapai Rp 7 triliun. Sebagian yang sudah disalurkan juga tak sesuai dengan peruntukannya, yaitu untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan.

Sekelumit masalah pengelolaan fiskal ini telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Jika tak ada reformasi fiskal, jangan harap generasi yang akan datang dapat menikmati hijaunya hutan. Yang terjadi hanyalah eksploitasi untuk kepentingan pemilik modal. Bisa jadi anugerah yang dinikmati hari ini berubah menjadi bencana lingkungan karena hutannya sudah gundul.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus