Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rizal Ramli dan Transparansi

Swastanisasi BUMN kembali dipertanyakan setelah Menko Perekonomian Rizal Ramli menempatkan semua BUMN langsung di bawah kontrolnya.

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA swastanisasi badan usaha milik negara (BUMN) telah berumur lebih dari sepuluh tahun. Dalam satu dasawarsa itu, banyak yang terjadi. Tim Ekonomi Keuangan yang dulu mencetuskan gagasan besar itu sudah berganti komandan beberapa kali. Sampai bos Orde Baru lengser, program swastanisasi BUMN masih terkatung-katung. Namun, sejak awal 1990-an, kalangan pengamat sudah mengendus adanya pemeretelan terencana atas aset-aset BUMN, khususnya BUMN yang mencetak laba.

Mungkin saja Direktur Utama Garuda Indonesia waktu itu, Suparno, mengendus hal yang sama sehingga ia sesumbar agar Garuda go public (masuk bursa). Malang baginya, mendadak ia harus mundur. Dan eiring dengan itu, kondisi Garuda menurun. Sebagian mungkin karena persaingan melawan Sempati, sebagian lagi karena pemeretelan aset. Bengkelnya diserobot, penghasilannya dialihkan ke pihak luar yang tak ada hubungannya dengan BUMN ini, dan banyak lagi kiat perampokan lainnya. Proses pembusukan ini agaknya tak akan terjadi kalau saja Garuda sempat masuk bursa.

Pada waktu hampir bersamaan, PT Telkom, yang kinerjanya membaik di bawah Cacuk Sudarijanto, tiba-tiba dikejutkan oleh "vonis" yang menetapkan agar bos yang energetik itu juga mundur. Tapi Telkom mujur karena bisa melaju ke bursa internasional dan go public pada 1995. Saham Telkom menjadi blue chip, bersama-sama saham Indosat. Kalau saja tidak diswastanisasi, bukan mustahil Telkom yang pemegang monopoli telekomunikasi itu mengalami nasib yang sama dengan Garuda.

Becermin dari kasus Garuda dan Telkom, pilihan terbaik untuk swastanisasi BUMN tentu saja masuk bursa. Pilihan lain, seperti divestasi sebagian saham dan private placement atau pelepasan ke swasta 100 persen, mungkin juga tidak buruk, asalkan sesuai dengan kondisi kesehatan BUMN yang bersangkutan. Juga asalkan prosesnya dilakukan secara transparan. Tuntutan untuk transparansi tentu tak bisa ditawar-tawar karena yang dipertaruhkan adalah nasib BUMN yang pemiliknya adalah segenap rakyat Indonesia. Ketentuan transparansi ini perlu dipertegas karena kita tak lagi punya pilihan selain menyelamatkan yang kini tersisa dan masih bisa diselamatkan. Dalam kategori ini termasuk BUMN yang mengoperasikan fasilitas untuk umum seperti Garuda, Merpati, pengelola pelabuhan, PT Kereta Api Indonesia, Pelni, bahkan Bandar Udara Soekarno-Hatta—yang kabarnya dilepas ke pihak asing tanpa melalui tender terbuka.

Kasus bandara Cengkareng itu lagi-lagi menohok rasa keadilan karena begitu saja mengulangi praktek Orde Baru. Akan baik sekali jika ada seperangkat aturan main yang menetapkan bahwa praktek tidak terpuji itu tidak akan terulang setelah BUMN dikelola oleh sebuah dewan—yang akan dibentuk dan berada di bawah wewenang Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli. Juga, apa pun pilihan swastanisasi, hendaknya BUMN tetap kembali kepada pemiliknya yang sah, yakni rakyat Indonesia. Tak jadi soal jika satu BUMN, misalnya, disewakan ke pihak asing selama 30 tahun, asalkan ada klausul yang menyebutkan bahwa setelah 30 tahun, perusahaan itu kembali kepada rakyat Indonesia.

Terakhir, kendati tidak terkait langsung dengan swastanisasi BUMN, keterbukaan dalam masalah harta pejabat tinggi negara merupakan sebuah transparansi juga. Laporan kekayaan bukanlah sesuatu yang cukup didengungkan atau dijanjikan, tapi harus dilaksanakan. Tentu penyerahan laporan kekayaan bisa dimulai oleh Presiden dan Wakil Presiden. Tapi, jika Menko Rizal Ramli dapat memelopori penyerahan itu, nah, ini permulaan yang baik. Dengan prasyarat itu, setidaknya urusan swastanisasi BUMN terlaksana lengkap dengan transparansi dan rambu-rambu—sehingga ada jaminan bahwa kepentingan kelompok tertentu tidak ikut bermain di situ, seperti yang terjadi dulu, di masa kegelapan Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus