Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Memimpikan Pendidikan Gratis

UI, Undip, dan UNS diguncang aksi unjuk rasa. Tuntutannya: uang kuliah murah, malah kalau bisa gratis. Ada penyelewengan dana dan subsidi pendidikan salah alamat?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDIDIKAN adalah sesuatu yang mewah tapi perlu, terlebih pendidikan berkualitas tinggi yang bisa dijadikan bekal masa depan. Karena itu, tak sedikit orang tua yang rela quot;berkorban"—misalnya dengan menjual tanah warisan—semata-mata agar bisa membiayai sekolah anaknya.

Namun, dalam hal perguruan tinggi negeri (PTN), yang berkorban adalah pemerintah dan para dosen yang dibayar murah. Di Indonesia, minimal ada 50 universitas negeri, yang memungut uang kuliah yang rendah sekali. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar biaya universitas ditanggung oleh pemerintah.

Walaupun anggaran yang dikucurkan semakin tidak memadai, Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) masih bisa memasang tarif kuliah Rp 250 ribu per bulan. Sedangkan Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, memungut Rp 65 ribu. "Kuliah di Unair lebih murah dari sekolah dasar atau taman kanak-kanak swasta," kata Soedarto, Rektor Unair. Dia benar. Bandingkan dengan universitas swasta, yang rata-rata menetapkan uang kuliah Rp 4 juta per semester—sekitar Rp 650 ribu per bulan.

Dengan tarif begitu rendah, mahasiswa universitas negeri toh tak merasa diistimewakan. Sebaliknya, pekan lalu, mahasiswa UI, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo, justru menggelar unjuk rasa. Mereka menuntut biaya kuliah ditetapkan lebih murah lagi. Unjuk rasa di Undip berakhir setelah dicapai kesepakatan menyunat sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) mahasiswa baru sebesar Rp 35 ribu—menjadi Rp 365 ribu per semester.

Di UNS dan UI lebih gegap-gempita karena mahasiswa memblokir jalan masuk ke kampus. "Kami menawar, pendidikan gratis untuk rakyat," kata Soekarno, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa UNS. Sedangkan mahasiswa UI menuntut agar Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) dihapus.

Di UI, selain SPP yang besarnya Rp 475 ribu, mahasiswa dikenai DPKP. Tiap semester, mahasiswa eksakta membayar DPKP Rp 1 juta, sementara non-eksakta dikenai pungutan Rp 750 ribu. Ironisnya, mahasiswa mengendus bahwa dana DPKP itu diselewengkan.

"Masa, satu unit komputer harganya Rp 36 juta?" kata Abdul Hamid, salah seorang mahasiswa yang terlibat aksi. Selain itu, DPKP dirasa memberatkan. "Rektorat lebih suka memeras mahasiswa (lewat DPKP) daripada mencari dana dari sumber lain," Hamid menuding terang-terangan.

Tapi benarkah Rektor UI menggelapkan duit mahasiswa? Baiklah ditunggu hasil pengusutan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan. Menurut Dirjen Dikti Satrio Soemantri, perguruan tinggi boleh-boleh saja memungut uang selain SPP, asalkan mahasiswa menyetujui besarnya pungutan itu.

Di pihak lain, Rektor UI setuju DPKP diaudit, tapi dia tak akan mencabut DPKP. Alasannya, uang itu dibutuhkan untuk melengkapi koleksi jurnal penelitian, memperbaiki sarana pendidikan, serta membeli alat-alat praktikum. Dan yang terpenting untuk membayar 581 dosen honorer. Tiap semester, dosen honorer ini hanya dibayar Rp 150 ribu. "Dosennya wis apik-apik, kok, diobok-obok (dosennya sudah bagus, kok, masih diacak-acak) mahasiswa," ujar Asman Budisantoso, Rektor UI.

Asman mengungkapkan bahwa SPP dan DPKP hanya menutup 30 persen biaya operasional UI. Padahal, setiap tahun, seorang mahasiswa eksakta menghabiskan biaya Rp 10 juta, sementara non-eksakta sekitar Rp 8 juta. Lalu, bagaimana menambal kekurangannya?

Universitas negeri mengais dari sumber lain, misalnya membuka program ekstensi, diploma, magister manajemen, dan pascasarjana. "Selama ini, program S-1 UI meminjam alat-alat kuliah milik D-3," tutur Asman, menyingkap rahasia "dapur" UI.

Memang, Departemen Pendidikan juga memberikan subsidi lewat dana operasional pendidikan (DOP). Namun, anggaran pendidikan nasional yang besarnya Rp 11 triliun tentu membuat DOP makin kecil. Tahun ini, DOP itu hanya Rp 524 miliar.

Selain itu, kian terasa adanya kesenjangan karena subsidi pemerintah dinikmati oleh semua mahasiswa, tak terkecuali mereka yang berasal dari keluarga mampu. Akibatnya, subsidi itu salah alamat.

Menurut Rektor Universitas Surabaya, Anton Priyatno, subsidi tak akan salah alamat jika PTN tak terlalu bergantung pada subsidi pemerintah. "Perguruan tinggi yang berkualitas memang mahal biayanya," kata Anton. Seharusnya PTN menetapkan biaya kuliah sesuai dengan biaya yang harus ditanggung mahasiswa. Kendati biaya kuliahnya tinggi, universitas yang berkualitas tetap saja diburu mahasiswa.

Lalu, bagaimana dengan mahasiswa ekonomi lemah? Subsidi yang salah alamat itu seharusnya diganti dengan pemberian beasiswa kepada mereka. Jika ini dilakukan, bukan hanya mahasiswa yang dibantu akan lebih banyak, bantuannya pun bisa diperbesar. Dan kesenjangan, mudah-mudahan, bisa dihilangkan.

Agung Rulianto, Dewi Rina Cahyani, Wenseslaus, Biro Daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus