SETIAP orang yang belajar hukum dengan baik pasti mengerti isi pepatah dalam ilmu hukum lex specialis derogatgenerali, maksudnya: jika mengenai materi yang sama ada dua ketentuan, yang satu bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, ketentuan yang khusus itulah yang harus diutamakan. Maka, sangat mengherankan, RUU yang mengatur kedudukan hakim (TEMPO, 7 September, Hukum) nadanya hendak mengutamakan ketentuan yang umum, yaitu kedudukan hakim sebagai pegawai negeri. Sedangkan fungsi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan hendak dikaburkan. Andai kata benar kedudukan hakim memang pegawai negeri biasa, tentunya pengangkatannya dapat ditulis dengan kalimat yang lebih sederhana dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bukankah di situ ditulis, "Hakim diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara"? Dan, dalam penjelasannya ditulis, "Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para hakim oleh kepala negara, maka dijaminlah kebebasan kedudukannya" (pasal 31). Dari segi ini saja tidak mengherankan jika akan ada orang yang bertanya, apakah dalam menyusun RUU tentang kedudukan hakim yang pada 28 Agustus ini diajukan ke DPR diperhatikan secara ilmiah bunyi pasal 31 UU 14 Tahun 1970 yang jadi induknya. Agar Pelita IV, yang konon merupakan era dimulainya wibawa hukum, punya citra yang baik, seyogyanya produk-produk hukum (apalagi rancangan undang-undang) benar-benar dapat dipertanggungjawabkan bobotnya. Sebab, sebagaimana diketahui menurut ilmu hukum, untuk dapat mengikat dan ditaati dengan wajar, suatu rancangan undang-undang harus memenuhi tiga syarat: 1. Dirasakan manfaatnya oleh masyarakat 2. Ditetapkan menurut prosedur yang benar, dan 3. Diakui kebenarannya oleh yang terkena undang-undang yang akan diberlakukan itu. Kalau syarat itu tidak dipenuhi, wibawa undang-undang itu hanya akan bersifat semu. Hanya mengenakkan si pembuat saja. JOEWONO, S.H. Pengacara Jalan Prof. Supomo 52, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini