SAMPAI kini, tampaknya, para hakim di pengadilan melaksanakan wewenang melalui lembaga praperadilan, antara lain untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan (vide pasal 77 yo. 78 KUHAP) - masih beragam menafsirkan beracaranya. Hal itu dapat pula dibaca pada kasus Tewas setelah Tertangkap (TEMPO, 14 September, Hukum). Apa maksud diadakannya lembaga praperadilan ini, apa pemeriksaannya dalam rangka bidang pidana atau perdata? Yang jelas, ia merupakan kontrol terhadap lembaga penyidikan dan penuntutan (horizontal control) dalam upaya memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara, di samping adanya built in control dan vertical control pada instansi masing -masing. KUHAP tidak menentukan adanya para pihak untuk beracara di praperadilan. Dalam beracara perdata saja tak selalu ada para pihak berhadap-hadapan, seperti halnya pada suatu permohonan penetapan. Karena itu, KUHAP hanya menentukan adanya permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya tindakan itu oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya, kepada ketua pengadilan (pasal 79). Hakim mendengar keterangan, baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwewenang (pasal 82 ayat (1) huruf b) tanpa menyebutkan pejabat yang dimaksudkan adalah termohon. Perkataan "mendengar" di sini tidak harus diartikan adanya tingkat-tingkat pemeriksaan melalui jawaban, replik, duplik, pembuktian, dan kesimpulan seperti halnya beracara dalam perdata. Sebab, pemeriksaan harus dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari sesudah dijatuhkan putusan (pasal 82 ayat (1) huruf c) ditambah tiga hari setelah diterimanya permintaan itu (pasal 82 ayat (1) huruf a). Jadi, seluruhnya 10 hari selesai. Malah permintaan dapat gugur sebelum waktu 10 hari berlalu jika perkara (yang menyebabkan ia ditangkap/ditahan) sudah mulai diperiksa pengadilan. Demikian pula permintaan ganti kerugian atas penangkapan dan/atau penahanan tidak ada kemutlakan harus bersamaan atau terpisah dengan permintaan sah tidaknya penangkapan/penahanan itu. Karenanya, jika permintaan baru diajukan selama proses pemeriksaan berlangsung, tidak perlu dikatakan tidak fair. Hakim dapat membatasi pertimbangannya pada permintaan semula dan dengan alasan tersendiri akan menolak permintaan ganti kerugian. Tapi bukan dengan alasan dua permintaan yang datang berurutan di dalam satu proses pemeriksaan, lalu permintaan pertama akan menyebabkan kedua-dua permintaan itu ditolak. Mudah-mudahan ini cuma kesalahan menulis beritanya. Permintaan ganti kerugian hanyalah akibat adanya permintaan tidak sahnya penangkapan/penahanan pada kasus ini. Jika permintaan pertama ditolak, maka permintaan kedua kehilangan dasarnya. Juga tidak ada keharusan permintaan ditujukan kepada Pemerintah Rl cq. Kapolri dst. sebagai badan hukum. Di sini tak ada para pihak berhadapan, karena itu hakim cuma mendengar keterangan, kemudian memutuskan, apakah sudah terjadi pelanggaran pada ketentuan KUHAP atau tidak. Sayangnya, putusan praperadilan tidak mungkin dimintakan kasasi untuk tercapainya proses yang cepat seperti dituju KUHAP. Sebab, dengan adanya pendapat Mahkamah Agung secara terbuka masalah beracara pada praperadilan dimungkinkan memperoleh satu bahasa. H. ZAIN BADJEBER (Advokat) Jalan Kramat Il/50 Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini