Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA datang dari suatu masa ketika penyimpangan boleh ditenggang demi mengawetkan kekuasaan. Kadang, sebagai bentuk apologi—bahkan legitimasi—orang menyebut sangkala itu ”masa darurat”. Itulah saat ketika kelancungan menemukan kilahnya di balik tameng ”menegakkan ketertiban”.
Satu di antara ”masa darurat” itu adalah periode 1966-1970, ketika kekuasaan militer mulai mendaki puncaknya. Gempa politik menciptakan elite baru kekuasaan, dengan segala perangkat dan penggembiranya. Elite baru yang kemudian sungguh-sungguh sangat berkuasa ini nyaris tak tersentuh, apalagi dinistakan di depan hukum.
Kita belum bisa memastikan Herman Sarens Soediro, jenderal gaek yang mendadak menjadi kepala berita sejumlah media itu, bersalah atau tidak. Yang kita tahu, sepanjang lebih dari sehari semalam, pada awal pekan lalu, ia ”dikepung” di rumah anaknya di bilangan Tangerang Selatan, Banten. Di bawah liputan kamera televisi yang memang selalu merindukan sensasi, blokade itu terkesan agak terlalu dramatis. Bahkan ada cerita tembak-menembak—yang kemudian ternyata cuma isapan jempol.
Akhirnya, jenderal flamboyan dari masa lalu itu keluar dari kubunya dan mengikhlaskan diri digiring ke Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Tapi, beberapa jam kemudian, bekas pemburu berusia 80 tahun itu dilarikan ke sebuah rumah sakit karena kondisi kesehatannya terjun bebas.
Pokok masalah adalah sebidang tanah sekitar tiga hektare di kawasan Jakarta Selatan, yang ternyata kusut kepemilikannya. Pihak keluarga Herman Sarens mengajukan, antara lain, surat pernyataan bahwa tanah itu dibeli secara pribadi, ketika Herman menjabat di Komando Operasi Tertinggi, pada 1966/1967. Biodata dari sumber lain menyatakan, pada tahun-tahun itu, Herman menjabat di Markas Besar Angkatan Darat dan Markas Besar Pertahanan dan Keamanan.
Ada pula anggota keluarga yang menyatakan tanah itu diperoleh Herman ketika ia menjabat Komandan Korps Markas Hankam, pada 1968. Biodata lain menyebutkan Herman Sarens baru menyandang jabatan itu pada 1970. Tiga tahun sebelumnya, ia memang sudah mengelola Hankam Sport Centre Satria Kinayungan di lahan yang kini dipersengketakan itu.
Sport centre itu kemudian hanya dikenal sebagai Satria Kinayungan. Di sana ada sasana tinju dan berbagai fasilitas olahraga, mulai badminton sampai ekuestrian. Herman Sarens bahkan mencorong namanya ketika salah satu petinju binaannya, Polly Pasireron, berangkat ke Korea Selatan untuk merebut gelar juara dunia kelas menengah pada 1988—walau akhirnya Polly dipukul jatuh lawannya. Pada masa-masa ”pasang” itu, tentulah tak ada yang berniat mempersoalkan kepemilikan tanah. Tamu-tamu Herman Sarens di lokasi itu dari Keluarga Cendana, para perwira tinggi, sampai bintang layar perak—siapa berani?
Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, Satria Kinayungan mulai redup. Pamor Herman Sarens berangsur-angsur ikut pudar, meskipun pada awal pembentukan Provinsi Banten ia masih berniat maju sebagai calon gubernur—dengan janji cukup memerintah dua tahun. Lalu muncullah pengepungan yang berakhir dengan perumahsakitan sang jenderal.
Pihak keluarga, pada akhirnya, menawarkan jalan damai. Tapi, ternyata, sudah lima tahun dia masuk daftar pencarian orang Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Tiga kali ia dipanggil Oditur Militer Tinggi II Jakarta untuk diadili, dan tak pernah hadir. Akibatnya, sulit untuk tidak mengatakan telah terdapat unsur pembangkangan.
Sikap keluarga terhadap para petugas, yang secara resmi hendak menjemput Herman pada awal pekan lalu itu, pun tak mencerminkan sikap ingin berdamai. Perwira militer yang datang dengan surat perintah itu hanya diterima di beranda, tak diperkenankan menginjakkan kaki ke dalam rumah. Bahkan, ketika digiring ke tempat pemeriksaan, Herman tak sudi menumpang mobil penjemput resmi.
Tanpa mengurangi rasa iba kepada mantan Duta Besar Indonesia di Madagaskar itu, seyogianyalah kasus ini diusut tuntas hingga terang-temarang. Tak ada pula salahnya mengusut kasus-kasus tanah dan properti lain yang menyangkut institusi Tentara Nasional Indonesia, yang tak jelas ujung pangkalnya, terutama pada peralihan rezim di medio 1960-an.
Sulit dibantah, dengan alasan keamanan dan ketertiban, cukup banyak properti yang diambil alih pada masa itu, tanpa proses pengusutan, apalagi pengadilan. Sebagian besar properti itu dikangkangi oleh penguasa-penguasa individual, yang tentu saja tak jauh-jauh amat dari kekuasaan. Akan halnya kemungkinan bersalah pada Herman Sarens Soediro, hukum memang harus ditegakkan, walaupun aspek kemanusiaan diharapkan ikut menjadi pertimbangan, mengingat betapa rapuhnya sudah jasad serdadu tua yang dianiaya berbagai penyakit itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo