Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Sampai hati

Tokoh wayang sumantri membunuh adiknya setelah dibantu memindahkan taman, karena kesadaran tugas. tri pama memujinya sebagai petugas teladan. dan mangkunagoro iv menyebutnya sebagai guna, kaya dan purun.

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH adegan yang mengharukan Sumantri gugur. Rahwana berhasil membunuhnya, setelah perang yang panjang. Tubuh anak muda yang pernah duduk dalam jabatan tinggi kerajaan Mahespati itu kini robek compang-camping, darahnya muncrat ke mana-mana. Tapi arwahnya naik ke alam yang kekal. Di situlah adiknya, Sukosrono, yang tewas terkena oleh panahnya, telah menunggu. Mereka berpelukan suatu pertemuan sehabis sebuah tragedi. Mereka pun kembali seperti masa kanak dulu, kembali kepada kenangan ketika mereka berdua bermain di pertapaan, jauh sebelum Sumantri sukses sebagai Patih Suwondo. Dan dalam langenbeksa gubahan Sal Murgiyanto, pada saat itu pentas pun gelap. Hanya sesorot lampu mengikuti gerak kakak-beradik yang sendirian itu. Sekitar hening. Gamelan telah lama diam. Di sudut sana cuma terdengar kecrek, seperti repetisi bunyi katak kecil di tengah malam, dan suara wanita yang menyanyi. Tembangnya adalah baris-baris syair Tripama, sebuah irama dandanggula yang merenung: Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sami anulada, kadya nguni caritane .... Ya, kita diminta memperoleh tauladan dari Sumantri, patih Suwondo. Tapi siapakah sebenarnya Sumantri, dan apakah motif perlawanannya menghadapi serbuan Rahwana, pengarang Tripama, K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, tak hendak mempersoalkannya. Benarkah kesatria itu turun bertempur untuk membela rajanya? Ataukah ia berperang untuk menjaga stabilitas kedudukannya sendiri, agar tak kena tegur? Ataukah itu semacam bunuh-diri, sebagai penebus dosanya kepada adiknya, Sukosrono? Ketika ia pergi dari pertapaan dengan restu ayahnya dulu, ia telah menetapkan sebuah karir. Ia ingin mengabdi seorang raja agung, dan itu adalah Prabu Harjuna Sasrabahu. Ia tahu ia berkemampuan untuk itu, berkat pendidikan ayahnya sejak kecil. Maka ia pun tega meninggalkan Sukosrono yang amat mencintainya dan yang sangat merasa kehilangan. Mungkin Sumantri merasa, bahwa si adik yang buruk muka itu--pendek, keriting, seperti raksasa cebol --tak layak dibawa-bawa ke lingkungan bangsawan Mahespati yang megah. Dan betapa benar perhitungannya. Karirnya terbuka di saat yang tepat. Sumantri berhasil memimpin pertempuran membebaskan negeri Manggada dari kepungan ketat pasukan Widarba. Ia pulang memboyong ratusan puteri dan harta rampasan. Suatu awal yang gemilang. Maka aneh bila ketika sesampai di perbatasan, ia mengirim surat ke istana Mahespati, menantang Raja Harjuna Sasrabahu sendiri. Ada yang menduga, bahwa dengan itu Sumantri cuma ingin lebih yakin bahwa Harjuna Sasrabahu memang raja unggul yang patut ia abdi. Tapi ada pula yang menduga bahwa panglima muda itu jadi mabuk kemenangan--dan mencoba mengadu nasib untuk ambisi yang lebih besar. Apa pun yang jadi motifnya, setelah dalam perang tanding ia temyata kalah oleh atasannya, ia pun dihukum: ia harus memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati -- suatu tugas yang mustahil. Tapi pada saat itulah muncul Sukosrono. Adiknya berhasil membantunya hingga rampung: taman itu dapat dipindahkannya dengan kesaktian. Sayangnya, di Taman Sriwedari itu pula Sumantri ternyata menemui bencana: Sukosrono membikin onar para puteri, hanya karena wajahnya yang menakutkan dan tingkahnya yang udik. Maka Sumantri pun mengusirnya. Adiknya menolak ia tak mau berpisah. Oleh kesadaran akan tugas, oleh rasa malu karena tingkah adiknya sendiri, Sumantri pun menggertaknya dengan panah. Panah itu begitu sakti, dan nasib begitu buruk ia terlepas dari busur. Sukosrono tewas. Seorang yang setiakah Sumantri? Ataukah ia seorang yang tanpa rasa humor, yang terlalu serius dan dikekang ambisi? Mangkunegoro IV menyebut ada tiga perkara yang baik dalam diri Patih Suwondo ini: guna, kaya dan purun. Ia pandai, ia selalu bisa merampungkan kerja, dan kalau perlu ia mau mempertaruhkan nyawa. Tapi adakah ia punya hati nurani, itu rupanya perkara lain. Tripama memujinya hanya sebagai petugas, sementara kita teringat suara Sukosrono yang berseru dari jauh: "Kaningoyo, kadang Sumantri. " Mengapa sampai hati, kakakku Sumantri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus