SEBUAH adegan yang mengharukan Sumantri gugur. Rahwana berhasil
membunuhnya, setelah perang yang panjang. Tubuh anak muda yang
pernah duduk dalam jabatan tinggi kerajaan Mahespati itu kini
robek compang-camping, darahnya muncrat ke mana-mana. Tapi
arwahnya naik ke alam yang kekal.
Di situlah adiknya, Sukosrono, yang tewas terkena oleh panahnya,
telah menunggu. Mereka berpelukan suatu pertemuan sehabis sebuah
tragedi. Mereka pun kembali seperti masa kanak dulu, kembali
kepada kenangan ketika mereka berdua bermain di pertapaan, jauh
sebelum Sumantri sukses sebagai Patih Suwondo. Dan dalam
langenbeksa gubahan Sal Murgiyanto, pada saat itu pentas pun
gelap. Hanya sesorot lampu mengikuti gerak kakak-beradik yang
sendirian itu. Sekitar hening. Gamelan telah lama diam.
Di sudut sana cuma terdengar kecrek, seperti repetisi bunyi
katak kecil di tengah malam, dan suara wanita yang menyanyi.
Tembangnya adalah baris-baris syair Tripama, sebuah irama
dandanggula yang merenung:
Yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa sami anulada,
kadya nguni caritane ....
Ya, kita diminta memperoleh tauladan dari Sumantri, patih
Suwondo. Tapi siapakah sebenarnya Sumantri, dan apakah motif
perlawanannya menghadapi serbuan Rahwana, pengarang Tripama,
K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, tak hendak mempersoalkannya.
Benarkah kesatria itu turun bertempur untuk membela rajanya?
Ataukah ia berperang untuk menjaga stabilitas kedudukannya
sendiri, agar tak kena tegur? Ataukah itu semacam bunuh-diri,
sebagai penebus dosanya kepada adiknya, Sukosrono?
Ketika ia pergi dari pertapaan dengan restu ayahnya dulu, ia
telah menetapkan sebuah karir. Ia ingin mengabdi seorang raja
agung, dan itu adalah Prabu Harjuna Sasrabahu. Ia tahu ia
berkemampuan untuk itu, berkat pendidikan ayahnya sejak kecil.
Maka ia pun tega meninggalkan Sukosrono yang amat mencintainya
dan yang sangat merasa kehilangan. Mungkin Sumantri merasa,
bahwa si adik yang buruk muka itu--pendek, keriting, seperti
raksasa cebol --tak layak dibawa-bawa ke lingkungan bangsawan
Mahespati yang megah.
Dan betapa benar perhitungannya. Karirnya terbuka di saat yang
tepat. Sumantri berhasil memimpin pertempuran membebaskan negeri
Manggada dari kepungan ketat pasukan Widarba. Ia pulang
memboyong ratusan puteri dan harta rampasan. Suatu awal yang
gemilang. Maka aneh bila ketika sesampai di perbatasan, ia
mengirim surat ke istana Mahespati, menantang Raja Harjuna
Sasrabahu sendiri.
Ada yang menduga, bahwa dengan itu Sumantri cuma ingin lebih
yakin bahwa Harjuna Sasrabahu memang raja unggul yang patut ia
abdi. Tapi ada pula yang menduga bahwa panglima muda itu jadi
mabuk kemenangan--dan mencoba mengadu nasib untuk ambisi yang
lebih besar. Apa pun yang jadi motifnya, setelah dalam perang
tanding ia temyata kalah oleh atasannya, ia pun dihukum: ia
harus memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati -- suatu tugas
yang mustahil.
Tapi pada saat itulah muncul Sukosrono. Adiknya berhasil
membantunya hingga rampung: taman itu dapat dipindahkannya
dengan kesaktian. Sayangnya, di Taman Sriwedari itu pula
Sumantri ternyata menemui bencana: Sukosrono membikin onar para
puteri, hanya karena wajahnya yang menakutkan dan tingkahnya
yang udik. Maka Sumantri pun mengusirnya. Adiknya menolak ia tak
mau berpisah. Oleh kesadaran akan tugas, oleh rasa malu karena
tingkah adiknya sendiri, Sumantri pun menggertaknya dengan
panah. Panah itu begitu sakti, dan nasib begitu buruk ia
terlepas dari busur. Sukosrono tewas.
Seorang yang setiakah Sumantri? Ataukah ia seorang yang tanpa
rasa humor, yang terlalu serius dan dikekang ambisi?
Mangkunegoro IV menyebut ada tiga perkara yang baik dalam diri
Patih Suwondo ini: guna, kaya dan purun. Ia pandai, ia selalu
bisa merampungkan kerja, dan kalau perlu ia mau mempertaruhkan
nyawa. Tapi adakah ia punya hati nurani, itu rupanya perkara
lain. Tripama memujinya hanya sebagai petugas, sementara kita
teringat suara Sukosrono yang berseru dari jauh: "Kaningoyo,
kadang Sumantri. " Mengapa sampai hati, kakakku Sumantri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini