TIDAK bersedianya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dicalonkan
kembali sebagai Wakil Presiden, banyak mengundang tanda tanya.
Betulkah ia mundur hanya sekedar kesehatan matanya? Dan kalimat
yang menyatakan "saya merasa cukup mampu dan karena itu tetap
bersedia, apabila dikehendaki, untuk membantu dalam kelanjutan
usaha pembangunan nasional di negara kita," apakah itu berarti
mundur untuk kemudian maju lagi?
Sri Sultan (tanggal 12 April nanti usianya baru 66 tahun)
kemudian memberikan jawaban tertulis, setelah menolak semua
wartawan yang ingin mewawancarainya secara langsung. Mungkin ia
merasa "risi" pada wartawan atau mungkin agar jawabannya akan
lebih akurat bila ditulis.
Ia rupanya terutama hendak membantah, bahwa ia tak mau
dicalonkan lagi karena tidak sefaham dengan Presiden Soeharto.
Katanya: "Andaikata fikiran itu benar, sudah pasti saya tidak
akan bersedia untuk membantu dalam kelanjutan usaha pembangunan
nasional kita."
Tapi kapan sebenarnya ia memutuskan secara bulat? Dan kalangan
terdekat Sultan ada membisikkan bahwa putusan itu diambil di
tanggal 21 Januari. Apa yang benar-benar jadi alasannya tetap
tidak jelas, meskipun yang rupanya mengganggu ialah "soal
pengawalan ke mana saja ngarsa dalem pergi," seperti dikatakan
Prof. Selo Sumardjan, sekretaris yang sering jadi "tangan kanan
Sultan dan mulut Sultan" itu.
Di rumah pribadi Sultan, Jalan Mendut 21, memang tak kurang
dari 20 orang tentara yang mengawal bergantian siang dan malam.
Anak-anaknya jadi tidak bebas lagi, demikian juga isterinya
keempat, nyonya Tjiptaningrum. Dan Sri Sultan tentu saja tidak
boleh menyetir mobil sendiri. Dulu ketika jadi Menteri Negara
Urusan Ekonomi, Keuangan dan Industri, Sultan sering menelpon
Selo Sumardjan di rumahnya, dan cuma berpesan: "Saya mau datang
jam sekian, ada tamu." Rumah Selo Sumardjan di Jalan Kebumen,
Jakarta, selalu jadi tempat pertemuan Sri Sultan untuk menerima
tamu-tamu pribadinya, kalau itu harus dilakukan setelah jam
kantor. "Anak-anak saya sudah biasa melihat ngarsa dalem di
rumah, tapi selama jadi Wakil Presiden, 5 tahun lamanya Sri
Sultan tidak lagi bisa datang ke rumah saya."
Bagaimanakah dengan soal kesehatannya? Jawaban tertulis Sultan:
"Bagaimana keadaan kesehatan saya pada dewasa ini yang
mengetahui sebenarnya adalah Team Dokter Ahli bagi Presiden dan
Wakil Presiden. Saya sendiri dalam tahun-tahun terakhir ini
setiap hari berkantor dan mengerjakan kewajiban sebagai Wakil
Presiden tanpa sesuatu gangguan kesehatan yang berarti. Namun
seperti diketahui oleh umum kalau membaca dan menulis, saya
mengalami kesulitan. Kecuali kesulitan dalam membaca itu, maka
saya tidak pernah merasa kabur penglihatan saya dalam kehidupan
sehari-hari."
Sri Sultan hampir setiap hari berangkat dari rumah persis jam
07.00 pagi. Sekitar 10 menit, sampailah sudah ia di kantornya di
Merdeka Selatan. Kantor yang tdah didandani semenjak Sultan
diangkat jadi Wakil Presiden itu, juga mempunyai gedung besar
bertingkat di pekarangan belakang.
Dalam sejarah, kantor Wakil Presiden --selama di Jakarta--sudah
empat kali pindah alamat sejak 1945. Kantor Wakil Presiden (dan
Presiden juga waktu itu) yang pertama kali adalah di gedung
sebelah kanan Departemen Keuangan,Lapangan Banteng Timur.
Kini dipakai untuk gedung Mahkamah Agung. Setelah 1950, Wakil
Presiden berkantor di samping Istana Merdeka yang kini dijadikan
gedung Dewan Pertimbangan Agung. Kemudian di bawah Sultan,
pindah ke Merdeka Selatan, yang oleh para wartawan biasa
diringkas jadi Istana Mersela (Istana Merdeka Selatan). Kini
dibawah Adam Malik di sayap kiri dari Istana Negara.
Setelah tak lagi jadi Wakil Presiden, Sultan ternyata tetap di
kantor yang sudah dihuninya lebih dari 10 tahun itu. Ini
menimbulkan dugaan, bahwa Sultan akan menjabat lagi sebuah
jabatan. Mungkin setaraf dengan Menteri. Rupanya, Sultan cukup
cinta pada kantornya di Merdeka Selatan ini. Setiap kali Sultan
bepergian dari luar kota, tempat yang dituju pertama kali
setibanya di Jakarta ialah kantornya ini. Biarpun hanya 5 menit
atau tengah malam sekalipun ia langsung ke Merdeka Selatan dulu
dan baru kemudian ke Jalan Mendut, rumah pribadinya.
Kamar kerjanya cukup sederhana. Isinya seperangkat kursi berukir
untuk tamunya, sebuah bufet model abad 17 dari Belanda, sebuah
rak yang ditutup tirai putih. Di dinding terpampang beberapa
lukisan pemandangan alam. Di atas rak dan bufet ada beberapa
emblem olahraga dan pramuka. Di sudut lain, ada foto Ratu
Yuliana dan suaminya Pangeran Bernhard dengan tandatangan
langsung dari pasangan kerajaan Belanda tersebut.
Meja tulisnya yang berbentuk kuno menempel ke jendela yang
menghadap jalanan. Meja itu biasanya bersih dari tumpukan map.
Sebuah radio transistor merek Philips berada di sebelah
kanannya. Ada sebuah tempat kuwe model susun terbuat dari perak.
Isinya korek api.
"Saya langsung bisa bertemu dengan beliau, secara bebas, selama
Sri Sultan masih di Jakarta," ujar Selo Sumardjan. "Kalau sudah
masuk kraton Yogya, saya tidak bisa lagi menemui beliau secara
langsung," tambahnya. Sultan yang taat kepada adat istiadat ini
akan berobah 180ø kalau sudah berada di kratonnya yang tua. Baik
cara berpakaian, cara bicara dan cara bertemu. Ia rupanya tetap
hidup dalam dua dunia--tanpa bimbang dan goncang.
Di hari pelantikan Gusti Dorojatun jadi Sultan Hamengkubuwono IX
di Yogya 44 tahun yang silam, ia menyatakan: "Al ben ik Westers
opgevoed, ik ben en bliif een Javaan." "Biarpun saya tdah
dididik secara Barat, saya adalah dan tetap seorang Jawa."
Di tanggal 24 pagi, keesokan hari setelah ia tidak dikawal lagi,
Sultan tampak meluncur menyetir mobil Ford Cortina L berwarna
merah menyala. Apa yang akan jadi tugasnya? Ada yang menjawab:
"Penasehat Presiden, atau semacam itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini