DARI mana sampar (pes) bermula? Belum ada seorang pakar pun yang dapat dengan tepat menunjukkan asal mula wabah yang mengerikan itu. Tapi pada abad kesatu ada catatan seorang dokter Eropa yang mengatakan bahwa sampar berasal dari Suriah dan Jazirah Arab karena di sana sudah terjadi beberapa kali wabah antara tahun 590 dan 750. Untung, ketika itu belum ada koran, faksimile, atau antena parabola, sehingga tulisan itu tidak menimbulkan amarah umat Islam di negara lain. Banyak umat Islam di negara di luar Arab yang cenderung mengidentikkan tuduhan terhadap Arab sama dengan serangan terhadap umat Islam. Meskipun demikian, ketika sampar mulai melanda Eropa, yang dituduh sebagai penyebar penyakit itu adalah kaum Yahudi. Logikanya amat sederhana. Sampar dianggap sebagai kutukan Tuhan, dan Yahudi adalah kaum yang dikutuk Tuhan karena telah mengkhianati Yesus sehingga disalib. Jadi: Yahudi adalah penyebar wabah sampar. Maka, kaum Yahudi di Eropa makin dibenci dan dikucilkan meskipun seorang penulis Arab bernama Ibn al-Khatib ketika itu menyatakan bahwa wabah sampar selalu berkembang setiap ada kapal dagang datang dari daerah yang sedang terserang wabah. Meskipun sampai saat itu pun belum diketahui hubungan antara tikus dan wabah sampar, nasib buruk kaum Yahudi di Eropa itu kemudian ditolong ketika kerajaan Islam menguasai wilayah sekitar Laut Tengah sampai Spanyol. Mereka diizinkan membuka sekolah, mendirikan tempat ibadah, dan bahkan beberapa dokter Yahudi diangkat sebagai dokter kerajaan di Kordoba. Sampai sekarang juga kita belum dapat mengetahui dari mana virus AIDS berasal, dan mengapa tiba-tiba menyerang manusia. Laporan tentang kasus-kasus pertama AIDS memang menyebutkan bahwa banyak orang homoseksual yang terkena penyakit aneh tersebut. Laporan dalam jurnal kedokteran di awal tahun 1980-an itu sama sekali tidak menyimpulkan bahwa AIDS adalah penyakit kaum homoseksual. Tapi media massa Amerika yang ikut menyimak laporan tersebut mengambil kesimpulan sendiri yang mungkin sudah dilandasi oleh ketidaksenangan mereka terhadap kaum homoseksual, lalu menggiring pembacanya untuk juga berkesimpulan bahwa AIDS adalah penyakit kaum homoseksual. Kesan keliru itu kemudian menyebar ke semua penjuru dunia berkat peranan media massa juga. Bahkan, ketika pada tahun 1983 virus penyebab AIDS ditemukan dan cara penularannya yang pasti sudah diketahui, kesan keliru itu masih saja menghinggapi banyak orang di dunia. Memang sangat ironis jika kesan keliru itu juga menghinggapi para pemimpin rakyat yang mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya dan mempelajari proses menyebarnya AIDS. Akibatnya, mereka cenderung mengambil keputusan yang keliru pula dalam menghadapi AIDS. Juga sangat disayangkan jika pejabat yang berwenang di bidang kesehatan tidak berhasil memberikan informasi yang benar tentang penyakit ini. Di Indonesia ketidaktahuan para pejabat dan pemimpin masyarakat tentang penyakit ini mencuat ketika terjadi perdebatan mengenai boleh tidaknya Magic Johnson masuk ke Indonesia. Perdebatan yang dilandasi ketidaktahuan ini mirip perdebatan antarorang buta tentang bentuk gajah. Dan karena yang berdebat simpang-siur itu para pemimpin, bingunglah rakyat. Bisa dikatakan, sebenarnya, kekhawatiran akan keresahan rakyat akibat kedatangan Magic Johnson lebih disebabkan oleh perdebatan antarpemimpin yang simpang-siur daripada oleh berita kedatangan oleh kampiun basket yang terjangkit AIDS itu sendiri. Sebenarnya justru kewajiban para pemimpin rakyat dan pemimpin umat untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya tentang AIDS. Apa boleh buat, keputusan sudah diambil. Yang kini diharapkan adalah sikap konsisten para pemimpin kita di masa yang akan datang, sesuai dengan alasan yang mereka kemukakan. Kalau memang pengidap HIV ditolak masuk, haruslah setiap pendatang yang mengidap HIV ditolak masuk. Toh cara menguji adanya infeksi HIV sudah ada dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Kalau moralitas yang dijadikan alasan, haruslah semua orang yang diragukan moralitasnya juga ditolak masuk ke Indonesia. Yang juga perlu diketahui, hepatitis B mempunyai cara penularan yang persis sama dengan HIV. Jika kita konsisten, mereka yang menderita atau membawa hepatitis B juga kita perlakukan sama seperti pengidap HIV. Tuduhan bahwa pengidap HIV/AIDS bermoral rendah tentu bukan karena HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan, tapi karena cara penularannya antara lain melalui hubungan seks. Nah, demikian pula hepatitis B. Para pejabat dan pemimpin umat yang mengikuti general checkup tahunan tentu mengetahui apakah dirinya pernah terkena virus hepatitis B atau tidak. Beranikah kita menuduh mereka memiliki moralitas yang diragukan? Keunggulan pemimpin Islam di Abad Pertengahan dulu adalah mereka mampu bersikap rasional, mampu bertindak adil, dan memiliki empati serta rasa kemanusiaan yang tinggi. Juga terhadap orang Yahudi. Kemuliaan hati para pemimpin Islam ketika itu diakui secara resmi dalam buku sejarah tentang perjalanan orang Yahudi yang diterbitkan di Israel. Kita yang memiliki Pancasila, yang salah satu silanya adalah "Kemanusiaan yang adil dan beradab", seharusnya juga mampu bersikap demikian. Kita sanggup memperlakukan pengidap HIV secara berperi kemanusiaan, dalam arti kita bersedia memperlakukan mereka sebagai manusia secara wajar. Kita bimbing dan kita arahkan agar mereka tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Bukan dikucilkan, dimusuhi, atau dikutuk. Kita mampu bersikap adil dalam arti kita akan memperlakukan mereka secara sama, tanpa melihat warna kulit, pandangan politik, kedudukan sosial, ataupun tingkat ekonomi. Jika kita menolak Magic Johnson, kita pun harus menolak para turis yang mempunyai keadaan serupa, bahkan juga bangsa Indonesia yang mengidap HIV. Kita berhak menyebut diri beradab dalam arti kita mampu mengembangkan sikap empati terhadap penderitaan mereka, dan membimbing mereka dalam menghadapi hari-hari akhir mereka. Kalau kita tidak mampu bersikap demikian, masih relevankah kita mengaku sebagai Pancasilais? Dan kalau kita tidak dapat bersikap konsisten, bukankah kita jadi munafik?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini