LOKAKARYA Teknologi Tepat Bagi Pedesaan . Begitu bunyi undangan
LP3ES, direncanakan untuk 18 - 20 Desember 1975, bertempat di
Yogyakarta. Membingungkan juga istilah itu. Maklum sebagai orang
pesantren belum tahu bedanya teknologi tepat dan yang tak tepat.
Sedang arti teknologi itu belum dimengerti sepenuhnya (apa sudah
benar ditulis teknologi dan bukannya tehnologi dengan huruf h,
seperti diucapkan sementara kawan orang Priangan?). Tapi dasar
orang pesantren, mengerti tidak mengerti toh berangkat juga.
Karena ada kata teknologi dan ada kata pedesaan, anjuran bikin
paper dari penyelenggara dilaksanakan dalam bentuk laporan model
kampungan. Paper tentang sebuah koperasi pengelasan besi yang
menggunakan ubub sebagai pemanas, alias koperasi pandai besi,
yang dapat membuat rangka sepeda, jam, laras senapan angin dan
sebagainya. Mudah-mudahan sesuai dengan maksud kata teknologi
tepat itu. Ternyata, cocok. Itu pabrik-pabrik raksasa dengan
produksi barang konsumsi mewah justru tidak tepat bagi negara
yang sedang berkembang. O, begitu?
Ternyata peserta lokakarya cukup unik juga. Dari yang kerempeng
sampai yang gembrot, dari yang pendek sampai yang jangkung, dari
yang senang bercanda sampai yang selalu serius, dari yang hitam
legam (tapi masih stok Melayu) hingga orang bule yang selalu
kegerahan di negeri panas ini. Tapi yang lebih unik adalah
papers yang mereka laporkan. Ada orang pesantren yang bergulat
dengan tantangan istimewa: bagaimana menumbuhkan pisang yang
berbuah sama besar ujung, tengah dan pangkalnya. Herannya,
berhasil juga orang itu membuat buah pisang yang berdiameter
sama pucuk dan bongkotnya. Caranya: potong ujungnya sewaktu
masih dalam jantung pisang".
Ada insinyur muda yang siang malam memikirkan cara penghancuran
kotoran manusia alias tinja, agar berubah menguap menjadi gas
methane untuk berbagai keperluan pembakaran. Prinsipnya adalah
membuat kuman-kuman saling bertempur. Kuman pemenang itu akan
mencernakan dan merubah si tinja menjadi gas. Hebat juga kuman
pemenang ini. Jadi juara sendirian, tidak mau terima hanya
menjadi juara bersama seperti Persija dan PSMS tahun ini (eh
salah,tahun lalu). Cara memperoleh gas pembakar ini sangat
sederhana, walaupun perlu dibuat serem dengan nama asing:
digestor. Padahal ia hanyalah jamban biasa ples tempat
penyimpanan tinja, yang diatur jangan beri terlalu banyak air
dan kemasukan barang-barang keras. Walaupun empuk juga,
antibiotika tidak boleh masuk septic tank (sapiteng, kata orang
sini), karena akan membunuhi semua kuman. Entah para penggemar
jamu manjur cap air mancur, boleh tidaknya menyimpan produk
mereka dalam digestor.
Peserta lain ada yang membawa contoh kongkrit dari proyeknya:
membuat kakus murah. Alhamdulillah, badan-badan asing seperti
CARE mau membuatkan disain kakus murah itu untuk kita. Walaupun
masih menjadi pertanyaan, apakah kelompok yang hendak dituju
dengan proyek ini mau meninggalkan kakus mereka yang lebih murah
lagi: kebun di belakang rumah, pinggiran sungai dan sebagainya.
Tapi yang paling mengesankan adalah perkenalan dengan tiga orang
peserta: seorang pendeta, seorang insinyur PUTL yang tidak mau
proyeknya diinpreskan cepat-cepat, dan seorang seniman disain
paling orisinil, yang tidak mau menjadi milyuner dari
ketrampilan yang dimilikinya.
Sang insinyur adalah ir. Suwarno dari Pusat Informasi Bangunan
di Yogyakarta. Idenya adalah proyek bantuan 25.000 rumah bagi
tiap penduduk pedesaan yang ingin membuat atau merehabilitir
rumahnya. Imbalannya adalah kesediaan si penduduk untuk membuat
rumahnya menurut bestek dan petunjuk proyek. Bantuan diberikan
dalam bentuk rangka jendela, genting kaca, kakus murah, sekat
untuk membuat ruangan dalam rumah. Tujuannya adalah membuat
rumah sederhana dengan sanitasi, ventilasi dan penerangan yang
cukup baik dan sehat. Ide mulia ini menyentuh hati, justru
karena ia merupakan kontras sangat menyolok dengan rumah-rumah
berharga satu juta rupiah ke atas yang belakangan ini sering
dipropagandakan, yang jelas berada di luar jangkauan mayoritas
penduduk negara ini. Rupanya kontras ini diakui juga adanya oleh
pemerintah. Karena dalam pengantar RAPBN 1976 Presiden Soeharto
juga menyebutkan adanya pos anggaran untuk rumah sederhana.
Sang seniman adalah disainer tenunan bambu dari Pekalongan, pak
Kadir Muhammad aau yang lebih populer dipanggil Kadir Ridaka.
Seluruh hidupnya yang tua kini dicurahkan pada upaya bagaimana
menenun bambu hingga menjadi kain indah dengan aneka ragam
disain. Dasi dari bambu, kain sarung dan saputangan dari bambu,
apalagi meubelair yang dibuat begitu praktis, dengan sistim
bongkar pasang yang sangat mudah dan memakan waktu hanya
beberapa menit. Ada yang khawatir seniman satu ini akan mampu
membuat kereta api bambu yang dapat dibongkarpasang dan
diringkas dalam sebuah doos karton. Kalau mau pergi, tinggal
ke stasiun, dan memasang kereta apinya sendiri di sana. Bisa
pusing kepala stasiun. Begitu gandrungnya sang seniman ini
dengan kerja menenun bambu dengan ATBM-nya yang terbuat dari
bambu juga, hingga ia tidak tertarik kepada tawaran kredit
ratusan juta rupiah untuk memprodusir karya-karya bambunya
secara masal. Itu urusan orang lain, ia sudah puas dengan
menciptakan disain baru dan cara-cara lebih praktis untuk
memanfaatkan bambu dalam kehidupan sehari-hari.
Sang pastur. adalah romo J.B. Mangunwijaya, kolumnis Kompas,
dosen arsitektur di Gajah Mada, "punya" gereja di Jetis,
Yogyakarta. Sulit dibayangkan bagaimana ia mengenakan pakaian
dinasnya: rambut hingga hampir bahu, pakaian jeans (walaupun
tidak blue) dan gaya orang muda. Romo yang satu ini bergulat
dengan kerja membuat rumah model perkampungan tingkat bawah di
kota-kota besar, atau tungkat menengah-bawah (kalau mau
menggunakan klasifikasinya para pabrikan mobil di Detroit).
Model yang dipertontonkan adalah sebuah rangka rumah kayu
dibangun secara panggung. Dengan lantai kayu atau bambu, tidak
perlu lagi menggunakan tempat tidur dan meja kursi. Tinggal
mengatur tinggi rendahnya lantai dan dihamparkan tikar rotan
atau plastik. Dinding dan atap masih menjadi persoalan:
bagaimana membuat yang sederhana tetapi cukup memenuhi
persyaratan arsitekturil, cukup menahan air dan terpelihara
keamanannya? Sementara digunakan pintalan sabut lapis dua dengan
selembar plastik di tengah sebagai atap. Mengapa tidak
menggunakan genteng dan batu bata? Komentar sang romo:
"Pemerintah menganjurkan dikuranginya pemakaian kayu untuk
bangunan". Lantas genteng dan batu merah itu membakarnya memakai
apa umumnya? Toh kayu juga. Apa tidak lebih baik kayu pembakar
itu dimanfaatkan dalam pembuatan rumah murah yang benar-benar
murah? Di sinilah terletak tantangan bagi teknologi tepat, untuk
menyediakan bahan-bahan murah dan mudah didapat, untuk diolah
menjadi produk artistik yang sesuai dengan selera orang masa
kini.
Obsesi sang romo yang satu ini, dengan proyek rumah kayu
panggungnya, bersumber pada kesimpulannya tentang pengaruh besar
dari pola selera (dengan sendirinya pola konsumsi sumber-sumber
alam yang semakin langka) dari penduduk "kampung" di kota-kota
besar atas pembentukan selera mayoritas penduduk pedesaan. Kalau
penduduk gang sempit di kota dapat diyakinkan akan murahnya
membuat rumah panggung kayu sebagai tempat tinggal yang baik dan
kuat, tidakkah ini akan menghilangkan kecenderungan semakin
meluas untuk membangun rumah batu ala kota di pedesaan?
Tidak heranlah jika ketiga manusia di atas menjadi saling
memerlukan. Sang insinyur dengan rumah sederhananya,sang seniman
dengan percobaan disain tenunan bambunya, dan sang romo cuma
arsitek yang gila pada rumah panggung dari kayu (yang pada
dirinya merupakan penggalian warisan budaya bangsa yang telah
teruji sekian lama). Tak heran jika kemudian sang romo tertarik
pada kemungkinan menggunakan tenunan bambu bagi dinding rumah
kayunya, asal dapat dibuat menjadi kuat dengan disain menarik.
Begitu pula sang seniman cum designer, lalu terbenam dalam
kemungkinan penggunaan bambu semaksimal dan sepraktis mungkin
dalam model rumah seperti itu. Harus dipikirkan pengawetan
bambunya dalam kwantitas besar-besaran, apalagi untuk membuat
atap yang tahan air.
Begitulah kira-kira bayangan tentang teknologi tepat yang
diperoleh dari lokakarya: teknologi praktis berukuran kecil,
dengan kegunaan penuh bagi perbaikan kehidupan di pedesaan.
Kalau teknologi ini kemudian hari mampu menyaingi teknologi
serba masinal dengan produksi barang mewahnya yang tak
terjangkau oleh mayoritas bangsa, akan terbuktilah bahwa yang
kecilpun dapat mengendalikan yang besar. Kalau tidak berhasil
menyaingi, setidak-tidaknya akan mengingatkan kita kepada
pentingnya menegakkan prioritas produksi yang tidak merusak
keseimbangan sumber-sumber alam. Tidakkah ia pantas dinamai
teknologi tepat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini