Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Terasa mengada-ada

Penghapusan gelar kesarjanaan karena alasan gelar tersebut warisan belanda. alasan itu tidak etis. sebab gelar secara moral merupakan alat kontrol sosial bagi penyandangnya.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memang mengagetkan berita tentang penghapusan gelar kesarjanaan, seperti ''doktorandus'' (Drs.) dan ''insinyur'' (Ir.), (TEMPO, 6 Maret 1993, Pendidikan). Ironisnya, penghapusan itu karena gelar tersebut dianggap warisan Belanda. Saya heran, setelah negeri tercinta ini semakin maju, kok semakin banyak saja endusan yang seolah-olah mengambinghitamkan Belanda. Menurut saya, alasan penghapusan itu kurang etis, bahkan tidak konsekuen (berlebihan bila saya katakan mengada-ada). Sebab jajaran Departemen P dan K sendiri pernah menetapkan peraturan -- hingga kini masih berlaku -- pelestarian bangunan-bangunan kuno atau yang bernilai sejarah. Lupakah kita bahwa bangunan- bangunan kuno dan bersejarah yang dilindungi itu umumnya bangunan peninggalan Belanda? Selain itu, di bidang hukum pun acap kita temukan ketentuan yang bernapas Belanda. Cobalah kita buka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ribuan halaman itu, hampir di setiap halamannya terdapat istilah hukum yang mempergunakan istilah/kosakata Belanda, dan kitab itulah yang kita pergunakan hingga kini. Tak usah jauh-jauh, hingga memasuki PJPT II (Pelita VI) ini, petinggi-petinggi negeri ini masih didominasi mantan-mantan di- dikan (sekolah) Belanda si Kompeni itu. Lha, ... bagaimana pula ini? Apa bisa begitu saja kita mau mengganti mereka itu semua? Karenanya, sangat tidak etis kalau suatu kebijaksanaan, yang ternyata kurang bijak, dikeluarkan (berlebihan bila dikatakan: dipaksakan) dengan mengkambinghitamkan sesuatu, dalam hal ini Belanda. Kita semua tahu bahwa yang kita harapkan dari seorang sarjana adalah mutu kesarjanaannya dan pengejawantahannya secara positif di tengah masyarakat. Sehingga soal sebutan gelar rasanya tak perlu diutak-atik. Sama seperti seorang seniman, yang kita harapkan dari mereka adalah mutu dan dampak positif dari kesenimanannya, bukan soal rambutnya yang panjang -- lantas mendikte mereka harus berambut seperti ABRI. Maka hemat saya, kita ini tak perlu bersikap bodoh seolah-olah ''alergi'' terhadap made in Belanda. Sebab mutu produk mereka memang jitu, kok. Itu adalah kenyataan yang tidak perlu dibantah. Kalau mau membuat suatu kebijaksanaan, buatlah tanpa mengambinghitamkan bangsa lain, yang bisa membuat mereka tersinggung. Selain perasaan pribadi, kita ini rupanya perlu juga memiliki perasaan internasional. Kesimpulan saya, sebutan gelar Drs., Ir., dan sejenisnya tidak perlu dihapuskan. Sebab sebutan gelar itu justru secara moral telah menjadi semacam alat kontrol sosial bagi si penyandang gelar untuk sekurang-kurangnya tidak berbuat sesuatu yang tidak terpuji. Gelar kesarjanaan itu telah menjadi beban moral bagi penyandangnya untuk membimbing diri sendiri ke pola hidup yang terpimpin. Dan ini sudah tentu sangat membantu pemerintah dalam menciptakan ketenteraman masyarakat. Kalaulah Menteri P dan K merujuk pada Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) yang mengkhaskan tiga gelar kesarjanaan di Indonesia, yakni sarjana (S), magister (M), dan doktor (Dr.), sehingga bermaksud menghapuskan gelar Drs. dan Ir. dari tatanan pendidikan kita, barangkali yang perlu ditinjau justru UUPN itu sendiri. Sekalipun kebijaksanaan 9 Februari itu tidak berlaku surut seperti diisyaratkan TEMPO, sebaiknya Menteri P dan K yang baru memikirkan kembali penerapan kebijaksanaan itu. Toh masih banyak yang lebih penting yang harus dibereskan dalam sistem pendidikan kita. Sayang, dong, subsidi pendidikan kita yang begitu besar anggarannya bila dilupakan para siswa atau mahasiswa Indonesia hanya karena kecewa pada kebijaksanaan yang menggelikan. Bukankah gelar kesarjanaan sebuah kebanggaan bagi mereka yang tamat perguruan tinggi? Mengapa pula harus dirontokkan. Ini penghormatan, khususnya bagi mereka yang memasukinya karena panggilan kelimuan. Kita memang suka mengada-ada. DRS. JONNER SIANIPAR Jalan Sei Berantas 45 Medan 20121

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus