MENJADI penyelenggara SEA Games, apalagi dengan memperlombakan 27 cabang olah raga, bukan gampang. Kebutuhan penyelenggaraan, seperti persiapan venues, sarana dan fasilitas untuk sekian banyak atlet, sungguh bukan hal yang mudah &erjakan. Lebih berat lagi, kalaupun Panitia berhasil dalam penyelenggaraan, sukses itu agaknya akan tetap dinilai kurang kalau Indonesia tak mampu meraih gelar juara umum. Tampaknya, target juara umum itulah yang dituntut dari penyelenggaraan SEA Games XIV di Jakarta, 9-20 September ini. Maka, kontingen Indonesia seperti dipacu untuk merebut kembali gelar yang lepas ke tangan Muangthai di Bangkok, dua tahun silam. Dengan mempertandingkan 27 cabang olah raga dalam SEA Games kali ini, orientasinya jelas untuk merebut predikat juara umum. Melihat cabang-cabang olah raga yang dipertandingkan, boleh dibilang sasaran kita berada di luar jalur pembinaan yang terencana, dan lepas kaitannya dengan cabang yang berada di bawah IOC. Untuk mencapai target juara umum, dan sekaligus penyelenggaraan yang rapi, kita tak segan mengeluarkan dana sampai Rp 18 milyar. Apa pun alasan yang dipakai, mempertandingkan 8 cabang olah raga lebih banyak dibandingkan SEA Games XIII, orang tahu bahwa target kita adalah mengumpulkan medali sebanyak-banyaknya. Itu boleh-boleh saja. Tapi, jangan lupa, kita harus pula memikirkan arah pembinaan cabang-cabang olah raga ini lebih lanjut. Perlu diingat, SEA Games adalah ajang olah raga prestasi. Kita, sebagai tuan rumah, memang punya hak untuk mempertandingkan olah raga favorit. Kali ini, antara lain kita pilih pencak silat dan bilyar. Pemasukan olah raga tradisional pencak silat, misalnya, yang mempunyai landasan tradisi di tanah air kita, bukan soal apabila dalam SEA Games tercermin prestasi cabang olah raga tersebut. Tampaknya, tuntutan itu berat untuk dipenuhi, mengingat pencak silat bisa masuk SEA Games karena dikompromikan. Ini berbahaya. Secara tak sadar kita bisa saja mengulang kesalahan pada Ganefo (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta, 1963, yang memang lebih bersifat prestise politis ketimbang suatu event adu prestasi. Mengapa? Sejak Pekan olah Raga Nasional 1973, yang disebut PON Prestasi, kita sudah sepakat berbicara tentang prestasi. Artinya, sejak saat itu peningkatan prestasi lebih menjadi perhatian ketimbang sekadar pesta dan hura-hura. Pengurangan cabang olah raga dalam PON bukan sekadar upaya meningkatkan prestasi nasional, tetapi juga prestasi di tingkat regional dan internasional, dan sekaligus efisiensi dalam penyelenggaraan. Karena itu, pemilihan cabang-cabang yang dipertandingkan diserasikan dengan cabang yang dipertandingkan di SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Maka, sejak 1973, program pembinaan KONI lebih mengarah kepada cabang olah raga yang punya prospek untuk tingkat regional dan internasional. Untuk SEA Games diprioritaskan 18 cabang olah raga, Asian Games 10, dan Olimpiade 4. Cabang-cabang olah raga yang diprioritaskan pembinaannya untuk target prestasi itu, antara lain, atletik, bulu tangkis, sepak bola, dan tinju. Ada pula cabang olah raga yang pembinaannya lebih ditekankan pada pemasalan olah raga itu sendiri. Misalnya pencak silat. Dalam SEA Games kali ini, dua macam sifat pembinaan itu agak dikacaubalaukan. Memang dalam setiap penyelenggaraan multievent games, seperti SEA Games, kita tak cuma bicara soal prestasi, tetapi juga ada unsur pestanya. Perpaduan kedua unsur itu hendaknya jangan condong pada unsur kolosal dan konsumtif. Uang sekitar Rp 18 milyar, seharusnya, memungkinkan kita melakukan kegiatan yang sifatnya investatif, misalnya membangun kolam renang. Apabila peran tuan rumah dalam SEA Games condong pada unsur kolosal seperti kali ini, sukar bagi negara lain meniru kemampuan Indonesia menyelenggarakan pesta olah raga dengan mempertandingkan cabang olah raga sebanyak sekarang. Menarik bila kita lihat bagaimana Singapura menyelenggarakan SEA Games XII pada 1983: Sebagai negara kecil agak mustahil bagi mereka meraih gelar juara umum. Tapi mereka mencari kebanggaan lain: rapi dalam penyelenggaraan tanpa menghamburkan uang, dan berprestasi tinggi di cabang mereka yang benar-benar kuat. Misalnya renang. Motivasi merebut kembali gelar juara umum jelas merupakan hal positif asalkan itu dibarengi dengan prestasi tinggi, dan bukan berorientasi pada medali lewat penambahan cabang-cabang olah raga yang diperlombakan sesuai dengan keinginan kita saja. Yang juga penting, sukses meraih gelar juara umum akan merangsang orang gemar berolah raga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini