Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU di antara warisan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang patut dipuji adalah program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Enam bulan berjalan, proyek ambisius ini mulai menunjukkan hasil.
Kisah pasien miskin ditolak rumah sakit belum terdengar lagi. Ribuan orang telah menikmati berobat murah, bahkan gratis. Tapi memang tak ada cara mudah mewujudkan mimpi memberi layanan kesehatan bagi 253 juta penduduk. Masih banyak kelemahan BPJS yang harus dibenahi. Bila lubang-lubang itu segera ditutup, BPJS layak disebut revolusi pelayanan kesehatan.
Program BPJS memang ambisius. Lahir dari amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, program ini menjamin pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara. Kaum miskin mendapat subsidi premi dari negara Rp 25 ribu. Kalangan mampu pun bisa ikut dengan membayar premi sendiri, dari Rp 25 ribu hingga Rp 60 ribu sebulan.
Skema berbasis asuransi sosial ini menguntungkan peserta. Rumah sakit tak perlu takut pasiennya mengemplang ongkos berobat. Semua tagihan ditanggung, termasuk biaya sakit berat yang perlu perawatan lama dan mahal. Tak mengherankan bila hingga April lalu, 114,9 juta orang telah terdaftar. Akhir tahun ini, total peserta ditargetkan 245 juta orang. Jika angka itu tercapai, tak lama lagi semua penduduk Indonesia bakal terjamin biaya pengobatannya.
Memenuhi target besar itu tentu tak gampang. Program BPJS mensyaratkan tersebarnya infrastruktur dan fasilitas kesehatan hingga pelosok. Ujung tombak pelayanan adalah puskesmas. Dan inilah masalahnya. Dari 9.599 puskesmas, 938 tidak memiliki dokter. Sepertiga dari puskesmas belum dilengkapi ahli gizi, dan separuhnya minus analis laboratorium. Keterbatasan itu bisa mengacaukan mekanisme pelayanan BPJS. Program ini mensyaratkan rujukan berjenjang, dari dokter atau puskesmas, baru ke rumah sakit bila perlu tindakan medis lebih serius. Potong kompas hanya boleh untuk kasus gawat darurat.
Terbatasnya layanan puskesmas menyebabkan pasien membanjiri rumah sakit. Maka kerja besar pemerintah yang harus segera dipacu adalah mewujudkan pemerataan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Masalah lain, belum semua daerah mau menerapkan program BPJS. Dari 511 kabupaten/kota di Indonesia, yang sudah bergabung ke BPJS hanya 98 daerah. Umumnya mereka enggan masuk karena telah memiliki skema pelayanan kesehatan sendiri. Untuk soal ini, perlu dibuat regulasi yang bisa mengintegrasikan pelayanan lokal dan nasional itu.
Ada juga beberapa soal teknis. Misalnya, jenis obat tertentu tak ada dalam daftar obat yang ditanggung. Atau, mekanisme klaim dari rumah sakit swasta masih harus diurus ke BPJS pusat. Seharusnya ini bukan masalah besar, karena bisa diatasi dengan selalu memperbarui daftar obat dan membuat mekanisme klaim yang lebih terdesentralisasi.
Jika program BPJS berjalan mulus pun, ada soal serius yang harus diperhatikan, yaitu pengawasan. Dana yang berputar di BPJS dari premi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mencapai Rp 40 triliun per tahun. Tanpa regulasi dan pengawasan ketat, uang ini rawan ditilap. Meski sudah ada mekanisme pengawasan internal dan Otoritas Jasa Keuangan, audit oleh badan pengawas independen tetap diperlukan. Tanpa pengawasan ketat, BPJS rawan terjerembap menjadi lumbung para penilap.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo