Dalam rubrik Komentar, TEMPO, 3 April lalu, M. Dawam Rahardjo mengajukan pertanyaan untuk M. Hanif Muslih, seorang santri theklek, yang menyanggah pendapat M. Atho' Mudhar tentang Masjidil Aqsa dalam Surat Al-Isra' ayat 1 (TEMPO, 27 Februari 1993, Komentar). Sanggahan M. Hanif Muslih dianggap Dawam kurang memuaskan sehingga diperlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam kaitan ini, barangkali saya bisa menjelaskannya. 1. Pada tahun ke-5 dari kenabian Nabi Muhammad (atas restu Nabi), umat Islam yang tak tahan menerima gangguan, intimidasi, teror, dan penyiksaan dari kaum kafir Mekah mengungsi ke Abessinia. Itu berlangsung dua kali. Kali pertama mengungsi 11 laki-laki dan 4 wanita. Dan yang kedua 80 orang laki-laki tanpa wanita dan anak-anak. 2. Ibadah ''salat'' (rukuk dan sujud) sudah dilakukan Nabi dan para pengikutnya jauh sebelum turunnya perintah salat lima kali sehari semalam. Salat yang dijalaninya itu merupakan syariat Nabi Ibrahim AS, seperti juga ibadah ''iktikaf, tawaf, dan puasa''. 3. Nabi Daud AS membangun Baital Maqdis pada tanah pemberian seorang putra raja bernama Nasuha. Sepeninggal Daud, pembangunan itu dilanjutkan dan disempurnakan oleh putranya, Nabi Sulaeman AS, yakni dengan menambah bangunan tempat ibadah yang dikenal sebagai ''Kuil Sulaeman'' (lk. 930 seb. M). Di bagian dalam tempat ibadah itu terletak batu besar (Batu Suci) bernama Sachra, yang berbentuk setengah lingkaran. Di atas batu yang tertutup rata dengan tanah itulah Nabi Muhammad melakukan salat dua rakaat menjelang mikrajnya. Lewat Surat Isra' Ayat 1, Nabi Muhammad memproklamasikan kepada dunia bahwa tempat ibadah yang dibangun Nabi Sulaeman AS itu bernama Masjidil Aqsa. 4. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkunjung ke Yerusalem (17 H). Itu dalam rangka mengikat perjanjian dengan penduduk Yerusalem. Ketika itu Umar sempat membangun mesjid sederhana di atas Batu Suci dengan menempatkannya di arah belakang orang salat. Sewaktu Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah (685-705 M, bukan Walid bin Abdul Malik), mesjid yang dibangun Umar bin Khattab tadi dirombak menjadi bangunan persegi delapan berbentuk kubah, sehingga dikenal dengan sebutan ''Kubbatus Sachra''. Kaum Orientalis menamakannya ''The Dome of the Rock'', sedangkan peserta Perang Salib mengenalnya dengan sebutan ''Masjid Umar''. 5. ''Baaraknaa'' pada Firman Allah ''... Alladzii baaraknaa haulahu ...'' adalah fi'il maadhi (kata kerja lampau) yang artinya kurang lebih, ''... Mesjid yang sekelilingnya pernah kami berkahi ...''. Masa lalu yang diberkahi itu pada masa siapa? Nah, ke sanalah seharusnya perhatian kita arahkan. Sebab, bila perhatian ditujukan ke sekeliling Mesjid Aqsa, yang kita saksikan adalah situasi ''ketidaktenteramam'': penindasan, kekacauan, ketidakadilan, dan perebutan kekuasaan seperti yang disaksikan selama ini. Jadi, bukan keberkahan yang kita temukan. Maka wajar bila kita berkesimpulan bahwa ''Masjidil Aqsa'' itu tidak di Yerusalem sekarang ini, tapi nun di sana di ''Baitul Ma'mur''. Tapi bila perhatian itu kita pusatkan pada diksi ''ketenteraman, kemakmuran, keadilan, kemewahan, kemegahan, dan keperkasaan'' sebagaimana yang pernah dialami dan dinikmati pada masa-masa Nabi Daud, Nabi Sulaeman, dan penerusnya, konon kerajaannya tidak saja bertakhta di atas manusia tapi juga atas jin dan semua makhluk). Jadi, sah-sah saja bila kita berkesimpulan bahwa ''Masjidil Aqsa'' yang dimaksud pada Surat Al-Isra' Ayat 1 itu berada di Yerusalem. Sejarah mencatat bahwa kondisi dan situasi buah karya Nabi Daud dan Nabi Sulaeman itu berlangsung sekitar dua abad. Itu terhitung sejak masa Nabi Daud sampai kerajaannya pecah dua pada masa Roboam atau Rehabeam (795 SM). Wallaahu alam bissawab. HARUN ARRASYID Kompleks IAIN 82 Ciputat Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini