Tulisan William Liddle di TEMPO, 10 April lalu mengingatkan saya pada sebuah ''hukum'' yang terpatri pada otak para pemikir Barat: kebangkitan Islam akan mengancam kepentingan Barat. Rasanya hal itu terlalu berlebihan. Sebab, kesadaran untuk ikut mengabdi bukanlah monopoli segolongan suku saja. Dan ketakutan satu golongan terhadap ancaman golongan lain seharusnya dibuang jauh-jauh. Soalnya, bangsa Indonesia sejak dulu terkenal dengan sikap toleransi beragamanya. Dalam tulisan yang berjudul RMS itu, Liddle menyoroti berkurangnya jumlah menteri dari kalangan Kristen: dari enam orang menjadi tiga orang. Memang membicarakan peta politik di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan peran politikus Islam di dalamnya. Meski tak satu pun organisasi atau golongan yang berdasarkan Islam (karena asas tunggal), tetap saja politikus muslim menjadi sorotan, umpamanya isu ijo royo-royo-nya MPR. ''Cacat'' Islam memang ada dan, tampaknya, terus membekas. Pada masa lalu, misalnya, banyak politikus yang memilih ''Islam Jalan Lurus'' (meminjam istilah Bp. Affan Gaffar). Maksudnya, mereka itu ingin menegakkan ajaran Islam tanpa mempedulikan seting kesejarahan Indonesia yang bineka. Akibatnya memang fatal, yakni terjadi benturan-benturan keras dengan pemegang kekuasaan, sehingga mereka terpental dari pusat kekuasaan. Dan ketika teman Liddle mengatakan, ''Kami sudah lama dikuasai oleh minoritas di negeri ini. Sekarang sudah waktunya mayoritas berkuasa''. Lalu dilanjutkan dengan kalimat, ''Kiranya tak sulit membayangkan mereka sekarang.'' Saya tak paham kesimpulan Liddle yang memojokkan itu. Apakah maksudnya titik awal hegemoni mayoritas muslim atas minoritas nonmuslim? Sebagai ahli masalah sosial di Indonesia, kiranya Liddle harus belajar memahami bagaimana menilai suatu persoalan dengan jiwa bangsa Timur yang tidak mau menyakiti saudaranya. SUHARNOMO Redaksi Pelaksana Majalah Edents FE Undip, Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini