Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Duka seni lukis kita

Seni lukis tumbuh subur di indonesia dan tampil di forum dunia. antara lain pameran kias di as. sayangnya karya lukis peluk is muda dianggap "kuno" oleh kurator belanda.

15 Mei 1993 | 00.00 WIB

Duka seni lukis kita
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TEMPO, 28 Maret lalu menampilkan tulisan tentang pameran seni lukis modern Indonesia di Belanda. Memang membanggakan bila ladang seni lukis kita tumbuh dan tampil (beberapa kali) di forum dunia. Di antaranya pameran KIAS dan di Belanda ini. Ada beberapa pelukis muda yang tampil di KIAS. Mereka adalah ''anak kesayangan'', sebab mereka itu memang potensial dan selalu menjadi bahan tulisan. Bahkan diangkat ke papan atas oleh para kritikus dan kurator seni lukis kita. Kenyataannya: pelukis muda pilihan kita itu semuanya beraliran surialisme dan dinilai ''sudah kuno'' oleh kurator Belanda. Bukankah ini memenggal sejarah seni lukis kita dan merendahkan pengamat kita? Boleh saja saya curiga bahwa yang ''menertawakannya hanya Mevrouw Spanjaard''. Mungkin secara pribadi dia tidak senang aliran tertentu, bahkan ia tidak mengharap aliran tertentu berkembang di Timur. Mungkin saja. Seharusnyalah kehadiran para pelukis muda potensial itu di Belanda diperjuangkan. Biarlah masyarakat seni rupa di tempat itu yang menilainya. Bila kita berbicara soal ''ketinggalan'', semua aliran seni lukis kita sudah ketinggalan, sebab semua aliran itu sudah ada dan semua penemunya dari Barat. Kita harus mengakui bahwa seni lukis modern kita berkiblat ke Barat. Istilah-istilah seni lukis, umpamanya, belum diterjemahkan secara pas seperti aliran surealisme, abstrak, atau kubisme. Seperti yang pernah saya amati di museum-museum seni rupa di Eropa, belum ada sepenggal karya master kita, belum ada lukisan kita di sana. Di Tate Gallery London yang selalu dipadati turis, misalnya, sudah terdapat koleksi lukisan putih di atas putih. Itu mengingatkan kita pada karya Danarto yang pernah dipamerkan di TIM yang menggemparkan itu. Soalnya, semua kanvasnya kosong. Apalagi gaya Senirupa Baru, yang sudah kuno di sana. Apakah ini jalan buntu? Tidak. Kita harus berbesar hati, karena seni lukis kita sudah lahir. Dan kita memiliki ''nilai lebih'' akan kekayaan dasar budaya seni etnis, kesenian daerah yang mistis surealistis dan tidak terdapat di negaranya Mevrouw Spanjaard. Dan kita tidak mau dijajah lagi. Seni lukis kita akan berkembang secara wajar berdasar seni budaya yang ada di sekitar kita. Semua ini merupakan tantangan dan jawaban, seperti yang pernah dikatakan almarhum Osman Effendi pada tahun 1960-an, bahwa seni lukis Indonesia belum ada (?). TEDJA SUMINAR Kotak Pos 031 Telp. (0361) 95611, Ubud, Bali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus