Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seks, Korupsi, dan Keadilan

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Seks, Korupsi, dan Keadilan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Julia Suryakusuma
  • Pengamat masalah sosial

    Korupsi banyak persamaannya dengan seks?tepatnya dengan seks selingkuh. Seperti seks, uang mengundang rasa ketertarikan dan kekaguman, sarat fantasi dan emosi, kebal terhadap panduan akal sehat; merasuki manusia dengan keinginan, rasa iri, keserakahan, dan acap di luar kuasa kita untuk mengendalikannya. Korupsi dan selingkuh merupakan penyelewengan, mustahil diberantas karena dilakukan semua kalangan, penguasa maupun rakyat.

    Maka alangkah nekat, "tekad" dan janji pemerintah SBY mengumandangkan korupsi sebagai tema sentral dari gebrakan 100 harinya.

    Bagi politisi, isu korupsi dilematis, karena kekuasaan mereka acap didukung korupsi dan money politics. Di kalangan masyarakat biasa pun, gejala korupsi merasuk sampai lapisan yang paling bawah, dan bahkan menjadi andalan hidup banyak orang. Namun keinginan mewujudkan masyarakat bebas korupsi tetap menggebu-gebu. Kontradiksi mendasar antara ideal dan realita yang menjurus pada skizofrenia ini menjadi ciri hakiki masyarakat Indonesia.

    Kontradiksi ini tecermin pula dalam gebrakan 100 hari ini. Padahal di dalamnya pemerintah dituntut memberikan sinyal-sinyal positif. Sinyal bisa berfungsi sebagai indikator yang tepat, tapi bisa juga menyesatkan, karena tidak disengaja, atau untuk sengaja mengalihkan perhatian.

    Salah satu sinyal "bukti" keseriusan melawan korupsi tersebut?gebrakan pertama yang dibuat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin?adalah memindahkan enam narapidana koruptor ke Nusakambangan. Awal November lalu, Pande Lubis, Lintong Siringo-ringo, Pratomo, Duryani, Dedi Abdulkadir, dan Syaeful Bahri Ismail dipindahkan ke pulau penjara itu.

    Dikatakan oleh Menteri Hamid, langkah ini dilakukan karena tingginya tuntutan masyarakat agar para koruptor dihukum seberat-beratnya. Namun apakah langkah ini akan mengurangi korupsi di luaran sana, yang jumlahnya jauh lebih banyak dan dengan kaliber yang lebih besar? Jika benar ini karena tuntutan masyarakat, langkah ini bak keputusan Kaisar Romawi yang menunjukkan jempolnya ke bawah untuk memberikan tanda: seorang gladiator perlu dimatikan. Sangat arbitrer sekali, sekadar memenuhi tuntutan masyarakat yang haus darah. Sementara itu, korupsi berjalan terus seperti sediakala dalam segala bentuk dan tingkatannya. Dari urusan KTP, SIM, berbagai macam perizinan, sampai segala macam praktek mark-up belanja pemerintah dan juga mark-down penerimaan negara.

    Apakah langkah pemerintah kena pada sasaran? Isolasi di Nusakambangan konon untuk membuat para koruptor jera. Benarkah? Kenyataannya, koruptor-koruptor yang besar dan punya beking, kabur sebelum hukuman sempat dieksekusi.

    Apakah ini adil? Yang dikirim ke Nusakambangan adalah nama-nama yang tidak dikenal, malah dalam kasus Siringo-ringo, ia sudah dalam proses pembebasan bersyarat, sedangkan nama besar?seperti yang sering disebut sekarang, Beddu Amang?dengan berbagai alasan, tetap di Jakarta. Terkesan juga bahwa ada kecenderungan pejabat yang terkena duluan, seperti dalam kasus BNI, sedangkan cukong-cukongnya tetap tidak terjangkau.

    Dalam kasus Pande Lubis juga terdapat kejanggalan. Pada tahun 2000 oleh pengadilan negeri ia dinyatakan bebas murni, namun empat tahun kemudian Pande dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, satu-satunya orang yang dinyatakan bersalah dalam kasus Bank Bali. Keputusan yang diambilnya, yang membuatnya didakwa, merupakan keputusan institusional BPPN yang diambil bersama ketua dan beberapa wakil ketua BPPN lainnya. Apakah Pande dikorbankan karena yang paling tidak punya uang dan beking? Yah, sepanjang sejarah, memang mengorbankan orang yang tak bersalah demi kepentingan politik itu sudah umum.

    Jika memang aparat penegak hukum hendak membuat demonstration effect, selain menghukum orang yang memang bersalah, juga bisa memperlihatkan bahwa orang yang tidak bersalah tidak dihukum. Andai terjadi suatu kesalahan dalam menghukum seseorang, apakah pemerintah berani mengakui kesalahannya? SBY pernah membuat pernyataan: "Kita hanya dapat menyatakan seseorang bermasalah jika hukum mengatakan ia bermasalah." Tapi bagaimana jika hukumnya itu sendiri yang bermasalah, mulai dari instrumennya hingga aparatnya?jaksa, hakim, dan polisi?yang dikenal banyak yang kotor? Belum lagi penjaranya sendiri yang menjadi sarang korupsi, pemerasan, dan pungli. Bagaimana pula jika hukum itu cenderung menjadi alat kekuasaan atau alat kepentingan kolusi bisnis dan pemerintah?

    Selain seks (dan uang/materi), tanggung jawab dan keadilan juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Tapi melihat dari kasus penanganan korupsi, keadilan menjadi sesuatu yang sangat semu, sedangkan keadilan yang sesungguhnya hanya merupakan bagian dari fantasi. Jika dalam seks fantasi menambah kenikmatan, dalam kasus pemberantasan korupsi, dan penegakan keadilan, fantasi identik dengan opresi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus