Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH Indonesia memerlukan rumah tahanan khusus untuk debitor bandel dan penunggak pajak yang dikenai hukum paksa badan alias gijzeling? Bila pertanyaan ini ditujukan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), besar kemungkinan petinggi lembaga yang hampir selesai masa tugasnya ini akan langsung setuju. Untuk mengurung para debitor BLBI yang tidak saja membandel tapi juga petantang-petenteng ke luar negeri—bahkan bermukim dan melakukan investasi di negeri orang—jangankan rumah tahanan, sekadar kerangkeng besi juga rasanya pantas-pantas saja.
Masalahnya, BPPN tidak berwenang menerapkan hukum paksa badan tersebut. BPPN harus mengandalkan dukungan hakim dan itulah yang tidak diperolehnya sampai sekarang. Jangan heran jika BPPN gagal mengajukan gijzeling atas beberapa debitor bandel hanya karena, menurut penilaian hakim, badan penyehatan perbankan itu tidak berhak melakukannya.
Ditinjau dari kacamata hukum formal, sikap hakim mungkin benar. Tapi, jika dilihat dari sudut kepentingan negara, sikap itu cenderung tidak bertanggung jawab, bahkan telah dengan sengaja menempatkan hukum dalam ruang hampa udara. Kecenderungan ini bukan gejala baru dan dampaknya pun sangat nyata: para hakim tetap mendominasi ruang pengadilan, sementara hukum—yang tidak selalu identik dengan keadilan—tampak seakan-akan tidak bernyawa. Akibatnya terjadi kebuntuan, walaupun harus diakui, untuk gijzeling, pihak terkait seperti Departemen Kehakiman dan Sekretariat Negara masih berusaha mencari terobosan.
Pekan lalu, hukum paksa badan yang terkandaskan itu tiba-tiba menggeliat di kalangan Direktorat Jenderal Pajak. Bersenjatakan UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan PP No. 137/2000 mengenai Tempat dan Tata Cara Penyanderaan dalam Rangka Penagihan Pajak, lembaga yang dipimpin Hadi Purnomo ini sekarang berwenang melakukan gijzeling terhadap penunggak pajak Rp 100 juta ke atas. Untuk itu, wewenang Direktur Jenderal Pajak telah diperkuat oleh surat keputusan bersama (SKB)—Rabu lalu ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman—yang khusus mengatur ketentuan paksa badan tersebut. Di situ ditetapkan bahwa penunggak pajak bisa ditahan tanpa diadili, maksimal selama satu tahun. Jika penunggak menolak paksa badan, ia bisa menggugat ke pengadilan atau mengadu ke ombudsman. Yang pasti kini Direktur Jenderal Pajak bisa menerbitkan surat paksa yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan hakim.
Wewenang seperti itulah yang diperlukan BPPN, tapi tak kunjung diperolehnya. Direktur Jenderal Pajak sendiri baru mendapat dukungan berupa SKB setelah menunggu dua tahun. Sebelumnya, penunggak pajak hanya bisa dicekal, dibekukan rekeningnya, dan disita asetnya. Ternyata ketiga sanksi tersebut tak cukup mempan karena jumlah pajak yang tertunggak terus meningkat selama tiga tahun terakhir ini, yakni Rp 13,3 triliun (2001), Rp 17,3 triliun (2002), dan Rp 17,1 triliun (semester I 2003). Tunggakan pajak ini rupanya sudah dilihat sebagai ancaman terhadap kesehatan keuangan negara, sehingga pemerintah berketetapan bahwa hukuman paksa badan harus diberlakukan.
Namun, tak begitu jelas, faktor apa yang menghambat sehingga gijzeling belum juga dikenakan pada debitor bandel langganan BPPN. Padahal ulah polah mereka sangat berpotensi membangkrutkan negara. Mungkin untuk menjebloskan debitor BPPN, masih ada rambu-rambu hukum yang perlu dirapikan dulu. Mungkin juga masyarakat tidak harus menunggu terlalu lama untuk mengetahui—dan barangkali menyaksikan sendiri—betapa para konglomerat yang selama ini kebal hukum akhirnya mendekam di balik jeruji. Tapi, andaikata "drama" ini sampai terlaksana, itu benar-benar terobosan dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara-lah yang akhirnya memegang peranan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo