DI awal 1961, seorang wartawan The Neq York Times mencium sebuah berita: CIA sedang merekrut dan melatih para pelarian Kuba di sebuah kamp di Guatemala. Reporter itu hampir saja membocorkan secara lengkap rencana subversi kepada kekuasaan Fidel Castro itu. Tapi kemudian, sesuatu yang luar biasa telah terjadi dalam pers Amerika. Yang terjadi, dalam rumusan yang paling ketat, adalah sebuah penyensuran. Entah dari mana sumbernya, di Washington. Presiden Kennedy ternyata tahu bahwa The New York Times sedang bersiap memuat tulisan tentang proyek rahasia di Guatemala itu. Dari Gedung Putih, ia menelepon kepala koresponden The Ne York Times di Washington. Ia mengimbau agar laporan Guatemala itu tak usah dimuat. Presiden Kennedy, yang mengenal baik kepala koresponden itu, bicara apa akibatnya bila rencana CIA ke Kuba itu terbongkar. Siasat akan gagal. Korban akan jatuh. Permintaan sang presiden untuk beberapa saat membimbangkan para pengambil keputusan di The New York Times. Tapi akhirnya Orvil Dryfoos, penerbit, mengambil jalan tengah: berita itu tetap dimuat, tapi dalam bentuk yang kecil - dalam nada yang sudah diedit. Tentu, tak semua setuju. Seorang anggota senior redaksi dengan meletup-letup mengatakan bahwa bukan tugas The New York Times untuk mengurusi "kepentingan nasional" dalam arti yang dirumuskan secara diam-diam oleh John F. Kennedy. Tapi sang penerbit tetap pada keputusannya. Kennedy puas. Kemudian, ternyata, serbuan yang dikenal dengan "peristiwa Teluk Babi" itu berantakan waktu operasi dilaksanakan. Yang dikirim tak cukup becus dan hasilnya berantakan. Kennedy konon kemudian berkata, setengah menyesal, seandainya The New York Times dulu jadi membocorkan rencana rahasia itu ke publik, ikhtiar CIA terhadap Castro akan batal - dan sang presiden tak usah harus menanggung malu karena suatu fiasco yang begitu konyol. Bagi The New York Times sendiri, keputusan untuk tak memuat hasil informasi wartawannya di awal 1961 itu meninggalkan sisa yang getir. "Itu adalah suatu keputusan yang sangat mengganggu perasaan satu generasi wartawan senior di tahun-tahun berikutnya betapa besarnya pun cinta mereka kepada tanah air mereka," tulis David Halberstam dalam The Powers that Be. Buku Halberstam pada dasarnya bicara tentang sejarah pertumbuhan kerajaan-kerajaan media dan hubungannya dengan strukur kekuasaan yang ada. Di sana, yang terkesan adalah sejenis simbiose. Suatu pertalian, dengan konflik-konfliknya, antara pusat-pusat pengaruh. Suatu kekerabatan lengkap dengan rasa akrab dan kecewa, antara orang-orang nun jauh di atas. Dengan kata lain, sejenis kemesraan. Hubungan antara presiden dan media massa boleh buruk, tapi - setidaknya bila dibaca dari Dunia Ketiga - kedua belah pihak tamDak berada dalam posisi untuk mempertahankan hal yang sama. Yakni, masyarakat dan nilai-nilai masyarakat Amerika itu sendiri. Karena itulah ketika The New York Times membatalkan niatnya memuat secara besar-besaran kisah CIA dari Guatemala itu, keputusan itu bukan hasil dari sikap yang ganjil. Kata "cinta tanah air" yang dipakai Halberstam agaknya terlampau menggelembung, tapi memang itulah soalnya. Orvil Dryfoos mematuhi imbauan Presiden Kennedy: ada niat baik, ada patriotisme, ada keyakinan bahwa kepala negara perlu dibantu. Hasilnya ternyata kemudian memang berabe, tapi motifnya tidak. Motif itu jauh berada di luar soal yang umumnya jadi ukuran di Dunia Ketiga soal "berani" atau-"takut" bicara. Di Dunia Ketiga, ketika setiap pers menyensur diri sendiri, orang pun berbisik tentang ketakutan. Seakan tidak ada kemungkinan lain seakan tak mungkin niat baik yang, betapa pun naifnya, tetap suatu niat baik, untuk membisu. Barankali karena telah beitu meluas kecurigaan dan waswas. Apapun sebabnya, pelbagai pusat pengaruh - pemerintah di satu pihak dan media di pihak lain serasa harus berhadapan dengan sikap "hidup atau mati". Pergolakan-pergolakan politik yang panjang memperburuk keadaan seperti itu. Orang memerintah, dan diperlntah, dengan trauma. Seperti dalam sejarah pers di Indonesia, yang tumbuh di masa permulaan adalah surat kabar yang "partisan". Pers bukanlah tempat untuk memperbandingkan pelbagai pendapat di satu tempat, melainkan untuk suatu pekik perjuangan, Di suatu passion, untuk sua, tu kemarahan. Bahwa pers semacam itu mempunyai cacat dan keterbatasannya, yakni terlalu sepihak, kiranya jelas. Tapi juga mereka mempunyai peranannya. Peran itu adalah peran peringatan. Orang tak dibiarkan lelap. Peran itu sering juga membawa teladan keberanian. Tak banyak orang yang datang memprotes ketidakadilan di depan gerbang kota, kecuali para nabi dalam kisah Ibrani. Dan siapa mendengar mereka, tahu apa artinya jalan yang tak sesat. Tapi tentu saja tak semua orang harus jadi nabi dalam pengertian itu. Keberanian terkadang lahir dari temperamen, dan jika Anda tak punya temperamen yang cocok, suara Anda mungkin hanya menggelikan. Orang bijaksana dari Yunani tidak sama dengan nabi Ibrani, karena keberanian, bagi mereka dalam kata-kata Plato, "terletak di tempat terendah dalam susunan kebajikan." Paling tidak, seperti kata seorang penulis yang pandai mencemooh, "setiap kepengecutan punya dalih filsafatnya sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini