MUNGKIN ini tradisi Indonesia: selalu ingin menjadi tuan rumah yang baik. Karena itu, penerimaan Jakarta terhadap Konperensi Menteri Penerangan Nonblok yang dibuka pekan ini tidak tanggung-tanggung. Tujuh batalyon ABRI, termasuk kesatuan lapis baja dan helikopter, dikerahkan untuk mengamankan konperensi ini. Tidak kurang dari 110 mobil Mercedes Benz 280 dan 100 Mitsubishi Galant disediakan untuk para delegasi. Tujuh hotel besar dengan 570 kamar disediakan buat para peserta, peninjau dan wartawan yang meliput konperensi. Harap diketahui, pemerintah Indonesia menanggung biaya menginap tiga anggota delegasi dari setiap negara atau organisasi. Anggota delegasi selebihnya harus bayar sendiri. Tapi mereka mendapat potongan harga sekitar 40 sampai 50 persen. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk semua ini? Sekretaris jenderal Departemen Penerangan H. Abdul Kadir, selaku ketua Panitia Penyelenggara, tampak agak segan mengungkapkannya. "Cukup banyak," katanya. Tapi, belakangan, ia mengkonfirmasikan jumlah "sekitar Rp 500 juta rupiah". Konperensi ini mungkin terbesar dibanding banyak konperensi internasional yang pernah diselenggarakan di zaman Orde Baru ini. Beberapa pertemuan internasional yang pernah diselenggarakan di sini, antara lain, Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN di Bali (1975), Konperensi Menteri Perminyakan OPEC di Bali (1976), dialog ASEAN dengan Negara Maju, lagi-lagi di Bali (1979), dan Muktamar Media Islam di Jakarta (1980). Dalam sejarah Indonesia, konperensi internasional yang paling mengangkat tinggi nama negara dan bangsa Indonesia mungkin masih Konperensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Konperensi AA ini diakui luas sebagai titik awal lahirnya suatu "semangat Bandung", yang dinyatakan dalam bentuk Dasasila Bandung yang terkenal itu. Semangat melawan kolonialisme inilah yang kemudian melahirkan puluhan negara baru di Asia dan Afrika. Kelompok baru AsiaAfrika ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya gerakan nonblok. Persiapan konperensi AA ini amat pendek: tiga bulan. Padahal, situasi dalam negeriIndonesia saat itu cukup kacau. Daerah sekitar Bandung rawan karena waktu itu gerombolan DI/TII masih kuat. Mengetahui banyaknya kesulitan yang dihadapi Indonesia, perdana menteri India Jawaharlal Nehru lewat utusan khususnya mengusulkan: untuk mengatasi kesulitan fasilitas konperensi, diadakan perkemahan besar di suatu lapangan di Bandung. Partai Kongres India, katanya, sering melakukan konperensi dengan cara itu. Usul itu ditolak. Fasilitas konperensi bisa diatasi. Gedung Societeit Concorde di Bandung dibeli pemerintah dan dirombak menjadi Gedung Merdeka dan menjadi tempat konperensi. Pagi hari 18 April 1955 Presiden Soekarno membuka konperensi yang dihadiri 600 utusan dari 29 negara, mewakili 1,5 milyar manusia yang waktu itu merupakan 3/5 penduduk dunia. Siangnya, hujan deras yang turun ternyata membuat gedung tua itu bocor dan air tergenang di ruang konperensi. Siang itu juga semua petugas, termasuk sekretaris jenderal Konperensi Roeslan Abdulgani dan Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata mencopot baju dan celana, dan ikut mengepel serta mengeringkan ruang konperensi. Waktu sidang dimulai pukul 15.30, ruang konperensi sudah kering. Musim hujan kini memang sedang mengguyur Jakarta. Tentu saja Balai Sidang Senayan tak akan bocor. Tapi mungkin ada perlunya kita mengenang keprihatinan kita dulu, 29 tahun lalu, sewaktu menyelenggarakan konperensi internasional di suatu zaman yang suiit karena konperensi pekan ini tak mungkin tcrselenggara tanpa adanya konperensi AA itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini