Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sodokan buat pensiunan

Akibat keputusan pensiun yang berlaku surut, banyak pensiunan yang dinyatakan berhutang pada negara. ada kesalahan administrasi. (nas)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYI TJONDROLUKITO, 64, merasa lega. Ternyata, ia tidak mempunyai utang pada pemerintah. Pemberitahuan bahwa utangnya lunas diterimanya Desember 1983. Padahal, nenek 24 cucu yang dikenal sebagai pesinden Jawa terkemuka lni belum pernah membayar sepeser pun. Ceritanya dimulai pada April 1981. Setelah 26 tahun tercatat sebagai pegawai honorer RRI Studio Jakarta barulah pada bulan itu ia diangkat sebagai pegawai negeri. "Saya masuk golongan III-A," kata Nyi Tjondro. Sejak itu, ia menerima aji tetap. Bulan Juli 1983, ia menerima surat pensiun. "Baru saya tahu bahwa sesungguhnya saya sudah dipensiunkan sejak Mei 1981. Berarti, masa kerja saya nol tahun," cerita Nyi Tjondro. Bersama surat pensiun itu, ia juga diberitahu bahwa ia berutang pada neara sebesar Rp 2,4 juta. Jumlah ini berupa kelebihan gaji yang diterimanya selama sekitar dua tahun. Toh Nyi Tjondro tidak merasa perlu untuk protes. "Sama pemerintah kok protes," tuturnya. Dia pun menyanggupi membayar utang itu secara mengangsur. Belum sempat ia mengangsur, datanglah surat pemberitahuan tentang sudah lunasnya utang itu. Ternyata, uang rapel pensiunnya dari 1981 sampai Desember 1983 telah menutupi utangnya. Malah masih ada sisa Rp 97.000. "Saya sekarang tenang karena tidak lagi mempunyai utang," katanya Senin lalu. Yang tidak tenang adalah Soemantri Tjitropati Hadi Suselo, 60. Pada September 1983, anggota veteran ini menerima surat pemberhentian sebagai pegawai negeri sipil yang ditempatkan di kantor Kelurahan Patangpuluhan, Yogyakarta. Celakanya, surat itu berlaku surut sejak 31 Januari 1981. "Saya kaget menerima pemberhentian mendadak itu. Apalagi, saya baru diangkat 26 Agustus 1981," kata Soemantri. Akibat pemberhentian yang berlaku surut itu, Soemantri diwajibkan mengembalikan uang kelebihan gaji yang diterimanya dari Februari 1981 sampai September 1983 sebesar Rp 1.006.380. "Uang sebesar itu harus saya cari di mana?," kata Soemantri. Toh sedikit banyak, rasa penasaran Soemantri terobati. Dalam keputusan pemberhentiannya, dinyatakan juga bahwa ia berhak mendapat uang penghargaan Rp 12.000 setiap bulan selama dua tahun. "Sampai sekarang uang itu belum keluar. Mengurusnya sulit," katanya. Di Yogyakarta, yang mengalami nasib seperti Soemantri ada 12 orang, seluruhnya pegawai kelurahan di Kotamadya Yogyakarta. Mereka menunjuk Soemantri sebagai wakil. Pekan hlu, Soemantri berusaha menemui wali kota Yogyakarta, Soegiarto. Alasannya, ia membaca berita koran bahwa Soegiarto mungkin akan membantunya dengan cara mengumpulkan sumbangan :lari para pegawai lain. Ini tidak disetujui Soemantri. "Saya tidak mau menerima belas kasihan. Lebih baik berutang pada negara daripada punya utang pada kawan-kawan pegawai negeri," katanya. Betulkah tuduhan itu? Seorang pejabat Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) membantah. "Sebenarnya, pihak penerima pensiun sendiri harus tahu: kalau sudah berusia 56 tahun mesti ingat sudah tiba waktunya pensiun. Pihak pembayar gaji juga harus melihat, kalau seseorang sudah mencapai 56 tahun harus diberi gaji pensiun saja," ujar pejabat yang menola disebut itu. Maka, menurut pejabat itu, kekeliruan pembayaran gaji yang menyebabkan seseorang harus membayar utang, sebenarnya, kesalahan pembayar gaji. Ia seharusnya menyetop gaji pada waktu yang bersangkutan memasuki usia pensiun. Sedangkan buat pegawal, tiga bulan sebelum memasuki masa pensiun harus mengajukan permohonan pensiun. "Kalau seseorang sudah berusia 56 tahun dan masih menerima gaji penuh, seharusnya ia ingat bahwa haknya cuma menerima gaji pensiun," katanya. Tidak semua pegawai mau disalahkan begitu saja. Seorang dosen Fakultas Psikologi UI, yang juga terkena sodokan SK Pensiun yang berlaku surut, hingga dinyatakan berutang pada negara sebesar Rp 4,3 juta, menolak keharusan itu. "Meskipun punya uang, saya tidak mau membayar. Saya tidak merasa bersalah," ujar pegawai golongan IV itu. Menurut dosen yang berusia 67 tahun ini, ia sudah mengajukan permohonan pensiun sejak Januari 1981. Ternyata, keputusan pemberhentian baru diterimanya Agustus 1983, tapi berlaku surut sejak Februari 1982. Karena menolak membayar, pensiunnya hingga kini belum bisa diterimanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus