Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
Di Indonesia, kelas menjadi bagian penting untuk memahami struktur dan interaksi sosial dalam masyarakat. Pengelompokan masyarakat ke kelas bawah, menengah, dan kelas atas mewakili hadirnya distribusi dan perbedaan kekayaan. Dan perbedaan ini juga mengindikasikan perbedaan kepentingan kolektif tiap kelompok yang bisa mewarnai perbedaan sikap, gaya hidup, dan perilaku mereka.
Tetapi pembelahan sosial berbasis kelas ini tidaklah otomatis mendapatkan padanannya di arena politik. Sejarah panjang Orde Baru mengabarkan bahwa pengelompokan kelas dilarang tampil di gelanggang politik kepartaian sehingga sentimen kelas mencari jalan keluarnya sendiri di wilayah politik nonformal. Ketika Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 meledak dan rusuh, pemerintah sadar bahwa sentimen kelas yang ditekan bisa menyulut kerusuhan.
Merespons kejadian ini, pemerintah kemudian mengubah urutan trilogi tujuan pembangunan. Sementara sebelumnya pertumbuhan ekonomi ditempatkan pada urutan pertama di atas tujuan pemerataan ekonomi dan stabilitas, dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun III (1979-1983) pemerataan ekonomi dinomorsatukan. Pada era itu, isu ketimpangan pendapatan antarkelas lebih ditindas karena isu ini memiliki daya ledak yang lebih tinggi jika tak terkelola dengan baik.
Di era reformasi, pintu kebebasan politik terbuka lebar. Uniknya, sejak 1999, isu kelas—apalagi isu ketimpangan pendapatan—justru tak pernah menjadi isu politik yang kuat. Yang terjadi tampaknya adalah mismatch antara tuntutan politik yang muncul di masyarakat dan respons yang ditawarkan oleh elite politik.
Kita bisa mengibaratkan politik elektoral sebagai perkara tawar-menawar antara masyarakat dan elite politik. Permintaan datang dari masyarakat dalam bentuk tuntutan politik. Sedangkan penawaran diberikan oleh kandidat presiden dalam bentuk tawaran kebijakan atas tuntutan itu. Apakah permintaan publik yang berputar pada isu ketimpangan memang riil?
Survei kerja sama Lembaga Survei Indonesia dan majalah Tempo yang dilakukan nilai akhir Mei sampai awal Juni 2014 memberikan informasi menarik. Lebih dari 90 persen dari sekitar 3.000 sampel representatif dari seluruh populasi penduduk di Indonesia merasa bahwa distribusi pendapatan antarkelompok memang timpang—bahkan 40 persen di antaranya mengatakan sangat timpang. Melalui simulasi, survei ini juga menemukan bahwa persepsi mereka atas jarak ketimpangan tersebut lebih rendah daripada kenyataan sesungguhnya.
Pada saat yang sama, hampir separuh responden mengatakan dalam lima tahun terakhir jarak pendapatan itu semakin lebar. Ini cocok belaka dengan ketimpangan riil di Indonesia yang ditunjukkan dengan naiknya koefisien Gini ke angka 0,41. Hanya 15 persen di antaranya percaya bahwa kesenjangan itu menyempit. Ini berarti peningkatan pendapatan dari mereka yang berada quintil (seperlima) pendapatan teratas meningkat jauh lebih cepat ketimbang kelompok-kelompok di bawahnya—terutama dua kelompok paling bawah.
Apa yang mereka inginkan atas gejala ketimpangan ini? Mayoritas dari mereka (83 persen) menginginkan distribusi pendapatan yang lebih merata dan menganggap isu ketimpangan ini adalah isu yang mendesak untuk ditangani pemerintah.
Pengetahuan dan sikap mayoritas publik terhadap isu ketimpangan tentu memiliki makna elektoral. Mereka diikat oleh sentimen yang sama, yakni keinginan akan pendistribusian pendapatan yang lebih merata. Jika dikonversikan, kelompok pemilih ini bisa memproduksi voting block atau blok suara yang bertumpu pada identitas kelas. Dalam leksikon perilaku politik pemilih, pilihan politik yang didasarkan pada sentimen kelas dikenal dengan istilah class voting.
Dari data survei, kita mengetahui secara obyektif kelas sosial itu memang ada dan kehadiran sentimen kelas itu riil sebagaimana dipersepsi oleh publik. Kita bisa mengatakan permintaan masyarakat atas kebijakan publik yang bisa menangani problem ketimpangan pendapatan memang hadir nyata. Yang perlu dilihat kemudian adalah sisi penawaran yang datang dari elite politik.
Dalam kasus pemilu presiden, para kandidat presidenlah yang semestinya memberikan respons politik itu. Para calon presiden karenanya bisa memilih keputusan untuk mengaktivasi kelas sosial-ekonomi dengan cara menarik perhatian publik terhadap isu ketimpangan, kemudian mengajukan tawaran kebijakan untuk menanganinya, dan dengan tawaran kebijakan itu sang kandidat akan mengundang pemilih ke bilik suara untuk memberikan dukungan politiknya.
Sejauh ini isu ketimpangan pendapatan tidak banyak menyembul dalam retorika dan kampanye para calon presiden. Karena itu, kita perlu memeriksa cara mereka merumuskan strategi kampanyenya untuk melihat mengapa isu ketimpangan pendapatan gagal muncul dalam gelanggang politik pemilu presiden.
Pertama, kita perlu memahami bahwa pembelahan kelas bukanlah satu-satunya cara memetakan pemilih. Pembelahan sosial berbasis agama, etnisitas, dan kedaerahan semuanya bisa diaktivasi oleh tiap calon presiden.
Kenyataannya, baik Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla menggunakan strategi berlapis dengan mengaktivasi semua isu yang menyentuh sentimen berbagai kelompok tersebut. Bukan kebetulan semata jika pasangan Prabowo-Hatta mengaktifkan sentimen kedaerahan atau etnisitas ketika memasuki wilayah Sumatera, tempat asal Hatta Rajasa. Sedangkan Jusuf Kalla melakukan hal yang sama di Sulawesi.
Saat kita melihat bahwa tiap pasangan kandidat bergegas mendekati para ulama, kita tahu bahwa kedua pasangan itu bersicepat untuk memenangi blok pemilih santri. Bukan hanya itu. Terlepas dari klaim netralitas yang hendak dijaga, dua ormas Islam besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menjadi blok suara yang diperebutkan untuk menarik dukungan komunitas santri yang bersemayam di dua sayap organisasi itu.
Beredarnya tabloid Obor Rakyat tak lain adalah upaya untuk membangkitkan sentimen agama di kantong-kantong pemilih santri. Sampai kini garis langsung yang menghubungkan pengelola tabloid itu dengan salah satu pasangan kandidat masih gagal diidentifikasi. Tak penting benar tuduhan bahwa tabloid itu salah, tapi kerugian elektoral tampaknya telah ditanggung pasangan Jokowi-Kalla.
Untuk isu kelas, kedua pasangan berlomba membidik kelas bawah. Prabowo dan Hatta menjanjikan pendirian bank nelayan, memberikan janji peningkatan upah minimum yang tinggi bagi buruh, dan kelak mereka juga menawarkan subsidi pertanian bagi kelompok petani. Pasangan Jokowi-Kalla menawarkan kartu sehat dan kartu pintar Indonesia.
Dengan berbagai aktivasi isu ini, kita melihat isu kelas hanyalah sebuah komponen dari strategi kedua pasangan kandidat itu agar berhasil menang dalam pemilu presiden pada 9 Juli nanti. Karena itu, isu ketimpangan pendapatan dan isu kelas lain mudah tenggelam dalam hiruk-pikuk isu lain.
Kedua, absennya isu ketimpangan pendapatan dalam masyarakat juga disebabkan oleh tersedianya banyak framing yang bisa dipilih oleh tiap pasangan kandidat.
Sejauh ini framing umum yang dipakai pasangan kandidat adalah penanggulangan kemiskinan, berbagai skema bantuan untuk kelompok berpenghasilan kecil, berbagai skema kredit usaha kecil dan menengah, bantuan biaya kesehatan dan sekolah, berjenis-jenis subsidi untuk kalangan bawah, serta penciptaan lapangan kerja. Semua skema bantuan ini pada ujungnya memang akan membantu menyempitkan kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah. Tapi cara ini menyembunyikan kenyataan pahit tentang ketimpangan pendapatan.
Dengan berbagai kemungkinan framing ini, isu ketimpangan pendapatan tidak lagi keluar sebagai primadona dalam pentas kampanye para calon presiden di Indonesia.
Berbeda halnya dengan kasus di Amerika Serikat. Dalam kampanye presiden pada 2008, Barack Obama mengartikulasikan isu ketimpangan dalam pidato kampanyenya. Tentu gerakan Occupy Wall Street bisa jadi picu pilihan tema kampanye Obama. Gerakan ini telah menerbitkan kesadaran baru tentang ketimpangan distribusi kekayaan (dan pendapatan) di Amerika yang kemudian terbakukan dalam slogan 99 persen versus 1 persen—mayoritas penduduk Amerika versus segelintir elite terkaya di sana. Sejak itu, Obama melipatgandakan usahanya untuk memelihara isu tersebut yang kemudian menjadi isu pokok dalam politik kepresidenan di Amerika Serikat.
Di banyak negeri maju, ketimpangan pendapatan perlahan menjadi fokus kebijakan politik. Di sini, kita memiliki satu pasangan kandidat yang lebih memilih pembelahan agama untuk memenangi pemilu presiden dan memojokkan pasangan kandidat lain yang menanggung kesengsaraan dalam menyusun agenda kampanyenya.
*) Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo