Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seruan sang jendral

Pangab ri, jend m. yusuf, melarang perwira aktif abri ikut kegiatan dagang. umumnya penanggap mengharapkan larangan itu akan membantu normalisasi kehidupan sosial politik kita.

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kesekian kalinya Jenderal Muhammad Jusuf membawa angin segar ke dalam kehidupan politik dan sosial kita. Larangan bagi semua perwira aktif ABRI dari usaha perdagangan langsung (TEMPO, 13 Oktober), adalah mungkin yang paling memberi harapan karena nilainya yang amat strategis. Tetapi, bersama banyak orang lain sesama warganegara, saya pun kaget mengetahui bahwa larangan serupa itu sesungguhnya sudah ada sejak lima tahun yang lalu! Maka mau tak mau timbul pertanyaan, lalu apa yang terjadi sehingga larangan itu dilanggar "dengan tenang" sekian lamanya? Apa yang terjadi pula dengan kewibawaan Kepala Negara yang mengeluarkan larangan tersebut? Dan mengapa seperti tidak pernah terdengar tindakan oleh yang berwewenang? Mungkin saja persoalan begitu ruwet dan kompleksnya, sehingga tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan tadi. Tapi agaknya kenyataan tadi merupakan bukti lagi bahwa cita-cita tertib hukum masih menuntut lebih banyak perjuangan. Walau begitu, seruan Jenderal Jusuf tetap sangat penting. Harapan terpenting ialah terwujudnya tujuan seruan itu sendiri, yaitu peningkatan profesionalisme ABRI dan modernisasinya berdasar doktrin Hankamrata (Jenderal Yogi Supardi). Di samping itu menarik juga memperhatikan dan mengomentari sambutan beberapa perwira atau ex-perwira yang diwawancarai TEMPO, sekalian mengajukan harapan-harapan. Sudah tentu sangat membesarkan hati bahwa pada dasarnya semua mereka itu menyambut seruan Jenderal Jusuf sebagai positif, meski ada yang menilainya sangat terlambat dan menunjukkan kekuatirannya kalau-kalau seruan itu dikeluarkan dengan mata memandang agak jauh ke muka, ke tahun 1982! Saya rasa kekuatiran seperti itu boleh-boleh saja. Namun, seruan Menhankam itu merupakan langkah amat positif ke arah normalisasi kehidupan sosial dan politik kita. Sesuai dengan cita-cita Demokrasi dan Keadilan. Sebagaimana menjadi salah satu bagian uraian laporan utama TEMPO, rakyat memang sudah cukup lama merasakan berbagai hal yang timpang dalam kehidupan kita bernegara. Dan yang paling banyak dibicarakan orang ialah suatu gejala sosial seolah anggota ABRI adalah warganegara kelas utama, dengan segala hak istimewa dan fasilitasnya, betapapun hal itu mungkin ada dasar legitimasinya -- misalnya dari segi pandangan historis. Berkenaan dengan perasaan umum rakyat inilah -- seperti kita ketahui bersama dengan dilarangnya perwira aktif dari kegiatan dagang langsung, atau dipercepatnya masa pensiun atau pembebasan dari dinas (pemecatan?) bagi yang memilih dagang daripada ketentaraan, rasa keadilan pada rakyat mungkin akan dapat dipulihkan. Meski begitu, berkenaan dengan para perwira pensiunan yang memilih terjun ke dunia bisnis, benarkah persaingan tak wajar atau tak adil dengan usahawan biasa akan dengan sendirinya hilang -- hanya semata-mata karena yang tersebut duluan itu sudah pensiun? Saya rasa tidak! Boleh saja para bekas perwira tinggi yang diwawancarai TEMPO menegas-negaskan bahwa mereka berhasil dalam bisnis mereka -- jika berhasil bukan karena mereka perwira atau ex-perwira ABRI. Saya rasa ucapan itu lebih merupakan ungkapan normatit, ungkapan tentang apa yang mereka lihat sebagai seharusnya atau apa yang mereka inginkan terjadi -- daripada ungkapan tentang kenyataan. Kenyataannya, para bekas perwira itu tetap memiliki potensi untuk diperlakukan istimewa, malah mungkin memang menginginkan untuk tetap diperlakukan secara istimewa -- sadar atau tidak. Pertumbuhan kepribadian mereka yang terbentuk karena peranan mereka selama aktif sebagai perwira, tidak akan lepas begitu saja hanya karena mereka dinyatakan pensiun. Dan masyarakat pun perSepsinya terhadap mereka rasanya tidak begitu saja berubah hanya karena perubahan status. Ini semua jelas menjadi faktor yang sangat menguntungkan bagi para perwira pensiunan itu dalam usaha dagang dan bisnis mereka. Dan sebagai kelanjutannya, bersaing dengan mereka bagi orang lain tetap mengandung unsur ketidakwajaran. Jelas ini terselip juga dalam wawancara! Kalau begitu, apakah para bekas perwira tinggi itu pun harus dilarang mengadakan kegiatan perdagangan langsung? Pasti tidak! Sebab itu akan berarti diskriminasi, dan ini saya rasa secara fundamental berlawanan dengan prinsip Demokrasi. Tetapi rasanya cukup beralasan mengajukan suatu himbauan moral kepada mereka. Yaitu, hendaknya, privilisi yang selalu potensial mereka peroleh disebabkan kedudukan mereka selaku ex-perwira itu, tidak mereka nikmati sendiri saja secara egoistis. Melainkan juga diarahkan begitu rupa sehingga bermanfaat untuk seluas mungkin kalangan rakyat. Toh rakyat itu pula yang dahulu memberi kesempatan kepada mereka dan menumbuhkan mereka dalam karier dan tugas. Dan sudah tentu suatu sumbangan amat berharga, sekiranya para usahawan bekas perwira itu memelopori pertumbuhan etik usaha dan dagang yang sehat di masyarakat. Godaan-godaan untuk memperoleh cara penyelesaian bisnis yang gampang dan kurang wajar harus dengan penuh kesadaran dihindari, dan diganti dengan kelugasan setinggi-tingginya. Ini tidak saja diharapkan menyehatkan dunia usaha masyarakat yang sedang membangun itu. Tetapi juga mungkin mempunyai efek berkurangnya dorongan dan 'teladan" untuk tindakan korup yang sudah mulai dikatakan "membudaya" di antara kita itu. Harapan seperti ini memang moralistis. Tapi seruan moral seperti ini kiranya sejalan dengan moral ABRI sendiri, yaitu tradisi patriotiknya. Dan kedudukan mereka yang tinggi di mata rakyat akan mendukung efektivitas moral itu, seperti terbukti pada golongan Samurai di Jepang pada masa Restorasi Meiji. Membersihkan korupsi hanya dari bawah, selain menyinggung rasa keadilan, juga tidak bakal efektif. Ada yang mengibaratkan membersihkan rumah hanya lantainya saja, sementara sawang di langit-langit dibiarkan. Sebersih-bersih lantai itu, akan kembali kotor juga, karena kejatuhan sawang dan debu dari atas! NURCHLISH MADJID 5601 S. Maryland Ave. // 1 Chicago, III. 60637, USA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus