UNTUK kesekian kalinya Jenderal Muhammad Jusuf membawa angin
segar ke dalam kehidupan politik dan sosial kita. Larangan bagi
semua perwira aktif ABRI dari usaha perdagangan langsung (TEMPO,
13 Oktober), adalah mungkin yang paling memberi harapan karena
nilainya yang amat strategis.
Tetapi, bersama banyak orang lain sesama warganegara, saya pun
kaget mengetahui bahwa larangan serupa itu sesungguhnya sudah
ada sejak lima tahun yang lalu! Maka mau tak mau timbul
pertanyaan, lalu apa yang terjadi sehingga larangan itu
dilanggar "dengan tenang" sekian lamanya? Apa yang terjadi pula
dengan kewibawaan Kepala Negara yang mengeluarkan larangan
tersebut? Dan mengapa seperti tidak pernah terdengar tindakan
oleh yang berwewenang? Mungkin saja persoalan begitu ruwet dan
kompleksnya, sehingga tidak ada jawaban yang mudah atas
pertanyaan tadi. Tapi agaknya kenyataan tadi merupakan bukti
lagi bahwa cita-cita tertib hukum masih menuntut lebih banyak
perjuangan.
Walau begitu, seruan Jenderal Jusuf tetap sangat penting.
Harapan terpenting ialah terwujudnya tujuan seruan itu sendiri,
yaitu peningkatan profesionalisme ABRI dan modernisasinya
berdasar doktrin Hankamrata (Jenderal Yogi Supardi).
Di samping itu menarik juga memperhatikan dan mengomentari
sambutan beberapa perwira atau ex-perwira yang diwawancarai
TEMPO, sekalian mengajukan harapan-harapan. Sudah tentu sangat
membesarkan hati bahwa pada dasarnya semua mereka itu menyambut
seruan Jenderal Jusuf sebagai positif, meski ada yang menilainya
sangat terlambat dan menunjukkan kekuatirannya kalau-kalau
seruan itu dikeluarkan dengan mata memandang agak jauh ke muka,
ke tahun 1982! Saya rasa kekuatiran seperti itu boleh-boleh
saja. Namun, seruan Menhankam itu merupakan langkah amat positif
ke arah normalisasi kehidupan sosial dan politik kita. Sesuai
dengan cita-cita Demokrasi dan Keadilan.
Sebagaimana menjadi salah satu bagian uraian laporan utama
TEMPO, rakyat memang sudah cukup lama merasakan berbagai hal
yang timpang dalam kehidupan kita bernegara. Dan yang paling
banyak dibicarakan orang ialah suatu gejala sosial seolah
anggota ABRI adalah warganegara kelas utama, dengan segala hak
istimewa dan fasilitasnya, betapapun hal itu mungkin ada dasar
legitimasinya -- misalnya dari segi pandangan historis.
Berkenaan dengan perasaan umum rakyat inilah -- seperti kita
ketahui bersama dengan dilarangnya perwira aktif dari kegiatan
dagang langsung, atau dipercepatnya masa pensiun atau pembebasan
dari dinas (pemecatan?) bagi yang memilih dagang daripada
ketentaraan, rasa keadilan pada rakyat mungkin akan dapat
dipulihkan.
Meski begitu, berkenaan dengan para perwira pensiunan yang
memilih terjun ke dunia bisnis, benarkah persaingan tak wajar
atau tak adil dengan usahawan biasa akan dengan sendirinya
hilang -- hanya semata-mata karena yang tersebut duluan itu
sudah pensiun? Saya rasa tidak! Boleh saja para bekas perwira
tinggi yang diwawancarai TEMPO menegas-negaskan bahwa mereka
berhasil dalam bisnis mereka -- jika berhasil bukan karena
mereka perwira atau ex-perwira ABRI. Saya rasa ucapan itu lebih
merupakan ungkapan normatit, ungkapan tentang apa yang mereka
lihat sebagai seharusnya atau apa yang mereka inginkan terjadi
-- daripada ungkapan tentang kenyataan. Kenyataannya, para bekas
perwira itu tetap memiliki potensi untuk diperlakukan istimewa,
malah mungkin memang menginginkan untuk tetap diperlakukan
secara istimewa -- sadar atau tidak. Pertumbuhan kepribadian
mereka yang terbentuk karena peranan mereka selama aktif sebagai
perwira, tidak akan lepas begitu saja hanya karena mereka
dinyatakan pensiun. Dan masyarakat pun perSepsinya terhadap
mereka rasanya tidak begitu saja berubah hanya karena perubahan
status. Ini semua jelas menjadi faktor yang sangat menguntungkan
bagi para perwira pensiunan itu dalam usaha dagang dan bisnis
mereka. Dan sebagai kelanjutannya, bersaing dengan mereka bagi
orang lain tetap mengandung unsur ketidakwajaran. Jelas ini
terselip juga dalam wawancara!
Kalau begitu, apakah para bekas perwira tinggi itu pun harus
dilarang mengadakan kegiatan perdagangan langsung? Pasti tidak!
Sebab itu akan berarti diskriminasi, dan ini saya rasa secara
fundamental berlawanan dengan prinsip Demokrasi. Tetapi rasanya
cukup beralasan mengajukan suatu himbauan moral kepada mereka.
Yaitu, hendaknya, privilisi yang selalu potensial mereka peroleh
disebabkan kedudukan mereka selaku ex-perwira itu, tidak mereka
nikmati sendiri saja secara egoistis. Melainkan juga diarahkan
begitu rupa sehingga bermanfaat untuk seluas mungkin kalangan
rakyat. Toh rakyat itu pula yang dahulu memberi kesempatan
kepada mereka dan menumbuhkan mereka dalam karier dan tugas.
Dan sudah tentu suatu sumbangan amat berharga, sekiranya para
usahawan bekas perwira itu memelopori pertumbuhan etik usaha dan
dagang yang sehat di masyarakat. Godaan-godaan untuk memperoleh
cara penyelesaian bisnis yang gampang dan kurang wajar harus
dengan penuh kesadaran dihindari, dan diganti dengan kelugasan
setinggi-tingginya. Ini tidak saja diharapkan menyehatkan dunia
usaha masyarakat yang sedang membangun itu. Tetapi juga mungkin
mempunyai efek berkurangnya dorongan dan 'teladan" untuk
tindakan korup yang sudah mulai dikatakan "membudaya" di antara
kita itu. Harapan seperti ini memang moralistis. Tapi seruan
moral seperti ini kiranya sejalan dengan moral ABRI sendiri,
yaitu tradisi patriotiknya. Dan kedudukan mereka yang tinggi di
mata rakyat akan mendukung efektivitas moral itu, seperti
terbukti pada golongan Samurai di Jepang pada masa Restorasi
Meiji. Membersihkan korupsi hanya dari bawah, selain menyinggung
rasa keadilan, juga tidak bakal efektif. Ada yang mengibaratkan
membersihkan rumah hanya lantainya saja, sementara sawang di
langit-langit dibiarkan. Sebersih-bersih lantai itu, akan
kembali kotor juga, karena kejatuhan sawang dan debu dari atas!
NURCHLISH MADJID
5601 S. Maryland Ave. // 1
Chicago, III. 60637, USA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini