Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun setelah dihembalang tsunami, Aceh adalah provinsi yang mengundang decak kagum. Secara fisik, kawasan di ujung Sumatera itu bahkan lebih dari pulih seperti sediakala: rumah penduduk dibangun lebih banyak daripada jumlah yang remuk akibat bencana. Jalan-jalan licin terhampar. Gedung sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan kantor pemerintah berjajar di jalan-jalan utama. Dunia memuji rekonstruksi yang berhasil mendayagunakan lebih dari Rp 70 triliun sumbangan dari berbagai belahan bumi itu.
Dipimpin Kuntoro Mangkusubroto, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005-2009) tak cuma membangkitkan Aceh dari kehancuran, tapi juga menghadirkan "dunia" di sana. Ada rumah sakit yang dibangun Arab Saudi. Ada jalan buatan Amerika Serikat dan Jepang. Juga rumah sakit dari Swiss dan Rusia. Di satu sudut, ada kompleks Jackie Chan—perumahan yang dibangun atas bantuan pemerintah Cina. Program rehabilitasi dan rekonstruksi ini diakui sebagai kegiatan pembangunan kembali pascabencana alam paling sukses di dunia.
Di luar soal kisah sukses, sejumlah catatan patut diberikan. Satu yang terpenting adalah kesadaran masyarakat Aceh terhadap bahaya bencana yang masih rendah. Memang tsunami besar seperti yang terjadi pada 2004 merupakan siklus 600 tahunan. Tapi itu bukan berarti Aceh tak perlu waspada. Sejumlah ahli geologi menyatakan masih ada patahan di bawah laut dengan energi yang masih belum dilepaskan. Aceh masih terancam gempa besar berkekuatan 8 skala Richter dan ketinggian tsunami tiga-empat meter. Adanya ancaman bencana ini semestinya membuat pemerintah dan penduduk senantiasa menyalakan alarm kesiagaan.
BRR sebenarnya sudah membangun empat gedung evakuasi berkapasitas ribuan orang. Namun, setiap kali digelar latihan penyelamatan, sedikit penduduk yang peduli. Mereka enggan berlari ke bangunan evakuasi ketika sirene peringatan tsunami berbunyi. Dalih mereka, toh itu latihan belaka. Dampaknya, ketika gempa kuat kembali terjadi pada 2012, mereka tunggang-langgang tanpa mengikuti prosedur penyelamatan.
Mitigasi bencana tak berjalan lancar. Tak seperti di Padang atau Yogyakarta, di Aceh latihan perlindungan yang diperagakan kepada anak-anak sekolah sangat sedikit. Padahal penanaman kesadaran terhadap bencana sangat penting dimulai pada anak usia dini. Alasan keterbatasan dana penyelenggaraan mitigasi terdengar cengeng dan dibuat-buat. Latihan penyelamatan bukanlah kegiatan yang membutuhkan banyak uang.
Keseriusan pemerintah Aceh terhadap program mitigasi layak diragukan. Aceh berada di jalur api. Provinsi itu terletak di kawasan rawan gempa dan tsunami, juga tanah longsor, banjir bandang, dan semburan gunung berapi. Perlu berapa korban lagi—setelah 127 ribu orang tewas dan 93 ribu hilang, sepuluh tahun lalu—agar pemerintah Aceh dan warganya risau terhadap nasib mereka sendiri.
Masyarakat juga harus lebih serius merawat dan mendayagunakan warisan rekonstruksi. Bukan cerita baru bahwa banyak rumah bantuan kosong ditinggalkan penghuninya. Gudang-gudang ditelantarkan, instalasi desalinasi yang mampu memurnikan air laut mangkrak, dan tempat pembuangan akhir sampah tak dimanfaatkan. Tak sedikit infrastruktur ekonomi yang dibangun BRR tak dipakai untuk kegiatan memajukan masyarakat.
Ini jelas mengecewakan. Seluruh infrastruktur itu didirikan dengan susah payah. Semestinya warga Aceh menggunakan fasilitas itu untuk kegiatan produktif, bukan menelantarkannya. Peran pemerintah sebagai dirigen masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat yang abai akan makin terpuruk jika pemerintah tak mengambil peran.
Pemerintah Aceh yang dipimpin gubernur Zaini Abdullah—mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka—mesti menyadari betapa besar biaya yang sudah dikeluarkan Republik, termasuk rakyat Aceh, selama ini. Perang bertahun-tahun dihentikan oleh bencana alam yang menelan banyak korban. Perdamaian di Aceh dibayar oleh nyawa mereka yang digulung gelombang. Selama beberapa dekade, semasa perang dan setelahnya, perhatian Republik diberikan kepada tanah Serambi Mekah.
Tak ada waktu untuk berleha-leha. Gerak cepat perlu dilakukan. Rakyat sepatutnya dirangkul untuk mempertahankan "kemajuan" Aceh pasca-rekonstruksi. Sudahi konflik politik, buang pikiran yang ingin membagi rakyat Aceh dalam dikotomi eks GAM dan bukan eks GAM. Pemerintah yang bersih dan transparan sepatutnya ditegakkan. Tanpa itu semua, Aceh akan kembali ke dalam keterpurukan sebelum bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo