Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHKAN keledai tak akan jatuh di lubang yang sama. Ungkapan ini agaknya tak berlaku bagi pemerintah dalam urusan pemulihan hutan. Buruknya pelaksanaan restorasi hutan membuat kebijakan ini bisa mengulang kegagalan program rehabilitasi pada era Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Digulirkan pada 2004, restorasi ekosistem hutan merupakan ikhtiar baru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setelah program rehabilitasi tak berhasil. Program dana jaminan reboisasi hingga konversi area bekas hak pengusahaan hutan ke izin hutan tanaman industri gagal mengerem laju deforestasi. Laporan Center for International Forestry Research (Cifor) pada 2008 mencatat hutan Indonesia yang terdegradasi justru berlipat menjadi 43,6 juta hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan program rehabilitasi yang bersifat top down dan boros anggaran negara, restorasi ekosistem melibatkan partisipasi swasta. Bisnis kehutanan tak lagi hanya memandang tebangan pohon, tapi beralih ke jasa lingkungan, edukasi, pariwisata, dan produk nonkayu. Di tengah makin kritisnya iklim dunia, menjaga hutan merupakan peluang usaha baru dengan lahirnya pasar perdagangan karbon. Setiap ton karbon yang dipertahankan pengelola wana bisa dijual ke negara atau korporasi penghasil emisi.
Konsep restorasi pun tampak mujarab. Bisnis jalan, hutan terjaga. Namun pelaksanaannya tak seindah dibayangkan. Sejumlah perusahaan pemegang izin restorasi justru menghadapi banyak persoalan akibat inkonsistensi pemerintah. Terbakarnya lahan PT Rimba Makmur Utama, pemegang konsesi restorasi ekosistem seluas 157 ribu hektare di Katingan, Kalimantan Tengah, pada September lalu, merupakan pucuk gunung es dari masalah tersebut.
Rimba Makmur merupakan satu dari 16 perusahaan yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem (IUPHHK-RE). Perseroan membidik bisnis karbon dengan cara merestorasi hutan dan gambut yang rusak. Hanya, bisnis ini terusik gara-gara sekitar 1.900 hektare lahannya terbakar pada September lalu. Analisis titik api dan informasi di lapangan mengindikasikan bara bersumber dari perkebunan sawit PT PEAK di sebelah konsesi restorasi.
Bencana serupa sebenarnya terjadi pada 2015. Sempat disidik, kasus kebakaran di lahan PEAK ini dihentikan setahun kemudian. Lemahnya penegakan hukum tersebut memperparah pangkal masalah di kawasan restorasi Rimba Makmur. Hampir bersamaan waktu dengan pemberian IUPHHK-RE pada 2013, KLHK melepaskan kawasan hutan seluas 40 ribu hektare untuk tiga perusahaan sawit, yang kini mengepung di kiri-kanan konsesi restorasi.
Memberikan ladang kepada korporasi dengan karakter merambah hutan di sekitar rimba dan gambut yang sedang dipulihkan jelas janggal. Masalah serupa kini dihadapi PT Restorasi Ekosistem Indonesia, pemegang izin restorasi pertama pada 2007 di irisan Sumatera Selatan dan Jambi, yang kini terancam izin pinjam pakai kawasan hutan untuk keperluan pembangunan jalan tambang.
KLHK semestinya menghentikan kekonyolan itu. Inkonsistensi pemerintah akan membuat program pemulihan hutan makin tak diminati. Lebih dari 10 tahun bergulir, pemegang izin restorasi baru menggarap 623 ribu hektare dari sekitar 2,6 juta hektare lahan yang disiapkan. Tanpa adanya keberpihakan pemerintah terhadap restorasi hutan, program ini akan mengulang kegagalan program rehabilitasi ala Orde Baru.