Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT untuk tidak mengecam langkah Dewan Perwakilan Rakyat yang terus-menerus memperkuat kekuasaan. Dewan bahkan mulai masuk ke ranah penegakan hukum lewat wewenang memanggil paksa. Lembaga ini juga membuat aturan baru yang menyebabkan anggotanya kebal hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah itu dilakukan lewat revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Revisi yang dibahas secara diam-diam dan tidak transparan ini telah disahkan dalam rapat paripurna pekan lalu. Pemerintah semestinya menolak revisi tersebut karena mengacaukan sistem ketatanegaraan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pasal yang berbahaya adalah Pasal 122 huruf k dalam revisi undang-undang itu. Lewat aturan baru ini, Mahkamah Kehormatan Dewan bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota Dewan. Aturan ini amat kontroversial. Bagaimana mungkin Dewan yang merupakan wakil rakyat malah mengancam publik? Pasal ini amat lentur seperti karet, bisa menjepret siapa saja yang mengkritik Dewan.
Faktanya, parlemen memang layak dihujani kritik. Lembaga ini boros anggaran—bujet legislasi mencapai Rp 856,7 miliar, tapi tahun lalu mereka hanya merampungkan segelintir undang-undang yang diprioritaskan. Selama ini, mereka sibuk “berperang" dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Rapat paripurna DPR pun rata-rata hanya dihadiri 41 persen anggota.
Aturan lain yang perlu dikritik adalah Pasal 73, yang menyebutkan Dewan berhak memanggil paksa siapa pun yang dimintai keterangan oleh lembaga ini. Aturan itu benar-benar membuat DPR offside karena menjadikan Dewan tak ubahnya lembaga penegak hukum.
Dewan makin mengingkari semangat konstitusi dengan membikin anggotanya kebal hukum. Pasal 245 revisi UU MD3 mengatur bahwa pemanggilan anggota DPR untuk penyidikan harus seizin presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan. Aturan ini jelas menabrak prinsip kesetaraan warga negara di depan hukum yang digariskan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi pun sebetulnya telah menganulir pasal imunitas bagi anggota DPR pada 2014. Mahkamah Konstitusi membatalkan klausul bahwa pemanggilan harus seizin Mahkamah Kehormatan Dewan. Rupanya, pasal itu dihidupkan lagi dengan mengganti kata “izin" menjadi “pertimbangan".
Sungguh disayangkan, Presiden Joko Widodo tak berkomentar sedikit pun tentang UU MD3. Saat ditanyai wartawan di Istana Negara, Presiden hanya tertawa—seolah-olah ini masalah sepele, yang bisa dijadikan bahan humor. Adapun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan Pasal 245 dalam revisi UU MD3 tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Alasannya, Mahkamah Kehormatan Dewan hanya memberikan pertimbangan, bukan mengizinkan.
Pemerintah seharusnya bersikap tegas terhadap langkah yang menyimpang dari konstitusi. Sikap pemerintah yang menyetujui revisi UU MD3 hanya mempercepat kerusakan sistem ketatanegaraan kita. Demokrasi tanpa proses checks and balances dan supremasi hukum akan melahirkan lembaga yang sewenang-wenang.
Sebanyak 90 ribu warganet telah menandatangani petisi menolak UU MD3. Para akademikus hukum juga menolaknya. Upaya ini perlu dilanjutkan dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi segera setelah pemerintah mengundangkan revisi UU MD3. Jangan biarkan DPR menjadi lembaga adikuasa yang tak bisa dikritik dan dikontrol.