Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA baiknya polisi mengikuti sikap simpatik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam merespons kasus rekayasa foto sang Presiden oleh Herman Saksono, pemilik jurnal di Internet (blog) yang menghebohkan itu. Ketika ditanyakan reaksinya terhadap tindakan usil anak muda asal Yogyakarta itu, Presiden cuma tertawa. Di akhir acara tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Thailand, Kamis pekan lalu, Presiden bahkan berpesan agar proses hukumnya tak perlu diperpanjang, cukup dipanggil, dinasihati, tak usah dikembangkan macam-macam.
Langkah persuasif ini tentu saja patut dipuji. Sejauh ini polisi bereaksi supercepat bak menerima informasi tentang gelagat seorang teroris yang bakal mengguncangkan sendi-sendi kehidupan negara dan masyarakat. Herman, karyawan sebuah perusahaan teknologi informasi itu, zonder ba-bi-bu, langsung digelandang aparat. Ia diinterogasi berjam-jam, pemeriksaannya dioper sana-sini, dari kepolisian provinsi ke Kepolisian Kota Besar Yogyakarta. Ia dijadikan tersangka dengan tuduhan serius dan gawat: tindak pidana makar, menghina kepala negara, yang salah-salah bisa dipenjara enam tahun.
Padahal ulah Herman iseng belaka. Kendati tidak sopan, tapi tak mesti dirisaukan, apalagi dianggap berbahaya. Ia agaknya ingin bercanda ketika melakukan rekayasa foto mesra orang yang mirip seorang penyanyi Indonesia bersama orang yang mirip pengusaha Bambang Trihatmodjo, lalu menggantinya dengan wajah SBY, plus wajah pengamat telematika Roy Suryo dan sejumlah figur publik beken lainnya. Teknik pelesetan foto macam begini—yang sering tak sopan—sudah jamak di ranah maya Internet. Lulusan Universitas Melbourne ini tentunya sudah terbiasa mengakses pelbagai hasil rekayasa komputer.
Lelucon kreativitas begini mestinya tak perlu ditanggapi serius. Apalagi Herman bukanlah satu-satunya pengguna Internet yang kadar iseng dan jailnya begitu tinggi. Blog pun bukanlah satu-satunya media di Internet untuk menyalurkan keisengan, sehingga ”membina” Herman dengan menginterogasinya berjam-jam dan berlarut-larut tak akan menjamin orang lain tak meniru. Memenjarakannya ke LP Cipinang pun tak ada gunanya. Bisa-bisa reaksi kaum blogger dan netter makin seru: tergoda berunjuk rasa dengan menyebarluaskan karya Herman. Apalagi sejauh ini kita masih belum punya undang-undang yang mengatur ihwal Internet.
Majalah ini hanya mempertanyakan tindakan kelewatan dalam ”membina” keisengan ala Herman ini. Bukan saja tindakan ini tak produktif, melainkan bisa memberikan citra buruk bagi komitmen pemerintah dalam menjamin kebebasan berekspresi setiap warga negaranya. Apalagi pernyataan Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika Partai Demokrat, Roy Suryo, yang mengatakan bahwa Herman sudah ”dibina” karena kasus ini, terdengar sangat beraroma suara pembela pemerintah zaman Orde Baru—yang alergi dengan segala yang berbau kritik dan kebebasan berekspresi. Seharusnya kita lebih terfokus menangani seabrek masalah penting lainnya ketimbang perkara perentil-perentil begini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo